Revisi (Plot) 28-8-2016
• • •
Aku menatap tiga orang pria berjubah abu-abu dari balik layar. Meski jantungku berdebar kencang dan nafasku terengah-engah, semangatku masih terus berkobar. Kali ini aku tidak boleh gagal.
Aku masih menunggu radius yang pas untuk menembak ketiga pria tersebut secara bersamaan. "Sebentar lagi..." gumamku.
"Sekarang!" Aku segera menggerakan jempol kiriku untuk berlari keluar dari sudut tempatku bersembunyi. Setelah berlari, aku kembali menggerakan jempokol kiriku, hanya saja kali ini untuk mengarahkan pistolku. Sementara itu, jempol kananku kugunakan untuk menekan pelatuk pistol.
Dor! Dor! Dor!
"Sial! Yang terakhir meleset!" teriakku sangat keras sampai membuat urat nadi di leherku nampak timbul.
"Eh, dek! Kalau main game jangan terlalu serius," ucap seorang kakek yang duduk di sebelahku. Yeah, teriakanku cukup keras untuk mendapatkan nasihat dari kakek-kakek yang segerbong denganku.
Lepas dari itu, tanpa kusadari aku kehilangan konsentrasi. Otomatis sang pria ketiga--yang gagal kutaklukan--berhasil menembakku sampai darahku mencapai titik penghabisan. "Game Over?! Sial, padahal sudah jauh!" teriakku lebih keras dari sebelumnya.
"Anak-anak zaman sekarang, engak dengerin orangtua, ya... Hehehe," ucap kakek yang tadi menasihatiku. Sindirannya diakhiri dengan tawa kecil yang membuatku malu.
"Heh... Game zaman sekarang susah-susah ya..," keluhku pelan sembari memasukan PSP kedalam ransel.
Mungkin ada baiknya aku berhenti memainkan PSP untuk beberapa waktu. Lagi pula bila sudah sampai nanti, pasti akan sibuk.
Ngiiitt~
Samar-samar bisa kudengar suara decitan rem kereta, semakin lama suaranya terdengar semakin keras hingga suaranya menghilang pertanda keretanya telah berhenti. "Akhirnya sampai juga," gumamku.
"Dek, kamu habis merantau, ya?" tanya kakek yang tadi.
"E-eh? Hmmm... Mungkin enggak bisa dibilang merantau, ya... Singkatnya saya baru lulus sekolah di luar negeri," jawabku dengan sedikit kaku. Berusaha berbicara sopan menggunakan bahasa baku.
"Ooh... Kalau tidak keberatan, boleh kakek tahu namamu?" tanya kakek itu dengan begitu lembut dan ramah, mungkin beliau adalah kakek idaman anak-anak zaman sekarang.
"Saya Rei. Kalau kakek?" Entah mengapa aku bertambah kaku, bahkan menjadi sedikit kikuk. Jujur saja aku jarang berbicara dengan orang asing.
"Nih kartu nama kakek. Maaf dek, kakek buru-buru. Semoga beruntung!" Kakek itu memberiku kartu namanya sebelum beliau berjalan pergi. 'Agus Prasetyo, seorang ilustrator.' Itulah yang tertulis di kartu namanya.
"Oh, iya. Sampai jumpa juga," ucapku sembari berjalan keluar dari kereta tua yang pengap nan berdebu ini.
Setelah keluar dari kereta, aku memutuskan berhenti sejenak untuk membersihkan pakaianku yang tercemar debu kereta. Tanpa menunggu lama, kaus abu-abu yang berlapis jaket biru tua ini segera kukebas-kebas, begitu pula dengan celana jeansku. Aku juga tak lupa untuk membersihkan rambutku yang berwarna cokelat.
Jujur saja debu kereta itu benar-benar memenuhi tubuhku sampai-sampai kulitku yang terbilang putih ini menjadi terlihat agak gelap, untung saja mataku yang berwarna biru tidak ikut terkena debu. Bisa bahaya nanti.
Ngomong-ngomong aku tidak menyangka ada yang menjemputku di stasiun. Bisa kulihat seorang pria tiga puluh tahunan tengah tersenyum sambil melambaikan tangan ke arahku. Ia terlihat gagah meski hanya menggunakan kaus putih dan celana jeans pendek warna abu-abu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALCORE - Kunci Enigma
Science FictionBerawal dari cahaya aneh yang jatuh dan masuk kedalam dirinya. Rei dipaksa untuk mengungkap kembali insiden kelam yang menghantui masa lalunya. Mengambil langkah maju bukanlah pilihan, melainkan sebuah keharusan. Putus asa, derita, dan tangisan adal...