•• E X ∅ D I U M ••

779 42 42
                                    

Revisi (Update Plot, Tata Bahasa) 27-7-2016

• • •

Kesadaranku mulai terkumpul membuat indera-inderaku kembali bekerja. Pendengaranku yang masih belum berfungsi sepenuhnya mulai dapat mendengar percakapan seseorang dengan samar-samar. Sayangnya pengelihatanku masih belum bisa beradaptasi dengan cahaya yang terus menyilaukan mataku, secara otomatis aku pun tak bisa melihat pemilik dari suara yang lembut ini.

"Rei, kamu udah sadar? Bisa denger suara aku enggak?" Suara lembut itu kembali kudengar, hanya saja kali ini terdengar lebih jelas. Mungkin karena pendengaranku yang sudah mulai berfungsi normal.

Cahaya ruangan yang masih menyilaukan tak menjadi halangan bagiku untuk menengok dan menatap seseorang yang memiliki suara lembut yang familiar bagiku itu. Setelah beberapa detik tak menjawab pertanyaan tadi, kini pandanganku sudah mulai membaik, bahkan kini aku sudah melihat dan menyadari siapa pemilik suara itu.

Pemilik suara itu tidak lain adalah milik gadis seumuranku yang kini tengah terduduk di sebuah kursi pada sisi kanan kasur ini. Dia terlihat habis menelop seseorang. Ngomong-ngomong, dia juga memakai pakaian rumah sakit sepertiku.

"E-Eryl... Dimana ini?" Dengan mata yang masih kesilauan, mataku mulai menatap liar ke seluruh penjuru ruangan. Entah mengapa aku merasa seperti orang bodoh yang berpura-pura tidak mengetahui ruangan tempatnya berada seperti pada adegan-adegan film.

"Kita ada di rumah sakit. Apa kamu tidak mengingat kejadian yang baru saja kita sekelas alami?" Eryl memiringkan kepalanya sehingga membuatnya tampak imut. Ngomong-ngomong aku hanya menggelengkan kepala sebagai respon terhadap pertanyaanya.

"Tadi saat acara kelulusan kelas kita berlangsung, tiba-tiba sebuah bola listrik menghantam bagian samping bus. Hantaman itu membuat busnya berguling-guling. Banyak dari kita yang terluka dan kamu adalah orang yang terluka paling parah, Rei," ucap Eryl menjelaskan.

"Wah pasti aku pernah berbuat jahat sehingga terkena dampak paling besar, hahaha!" Ucapku cepat dengan diiringi tawa kecil yang sedikit dipaksakan pada bagian akhir kalimat.

Entah kenapa tiba-tiba wajah Eryl memerah. "T-tidak juga, justru kebalikannya."--Eryl memalingkan pandangannya dariku--"Aku mengalami luka paling ringan karena kamu melindungi dari pecahan kaca dan benda-benda lainnya."

"Uwa! Apa aku terlihat keren saat itu? Sial, aku masih belum bisa mengingat kejadian di bus seutuhnya. Oh iya, ngomong-ngomong sudah berapa lama aku pingsan?" Aku menaikan alis kananku pertanda ingin segera mendapatkan jawabannya.

"Belum sampai satu jam. Dan Rei, aku yakin orangtua kita akan segera tiba di sini." Eryl tersenyum yakin sembari menatap dalam mataku hingga membuatku sedikit merinding. Ngomong-ngomong tak lama setelah Eryl mengucapkannya, kedua orangtuaku langsung masuk kedalam ruangan serba putih ini.

"Maaf kami datang terlambat. Apa kau sudah merasa lebih baik?" tanya Ayahku sembari berjalan cepat menyusul Ibuku yang berlari kecil ke samping kiri kasur yang sedang kutempati ini.

"Entahlah, Yah. Aku baru saja terbangun dari pingsan dan aku tidak ingat bagaimana rasanya sebelum aku pingsan dan aku harap tak perlu mengingatnya lagi." Seisi ruangan tertawa kecil menanggapi perkataanku.

"Om, Tante, Eryl permisi dulu ya. Mau balik lagi ke kamar Eryl, takutnya kalau Ayah sama Ibu udah dateng pada nyariin Eryl kemana-mana," ucap Eryl berpamitan sebelum ia menghilang di balik pintu.

"Bagaimana acara perpisahannya? Menyenangkan?" Ibuku tersenyum saat mengatakannya, ia mengelus-elus lembut keningku.

"Seharusnya, entahlah. Aku tidak bisa mengingatnya dengan jelas. Setidaknya aku bisa mengingat beberapa hal menyenangkan yang telah kami lewati di acara itu. Sisanya hanyalah masalah waktu, Bu," jawabku pelan dan lemas namun masih terdengar jelas.

"Rei, Dokter bilang kamu udah bisa langsung pulang hanya saja masih tidak boleh banyak beraktifitas," ucap Ibuku kembali memecah keheningan setelah beberapa detik kesunyian menggerogoti ruangan ini karena sedari tadi Ayah terlihat begitu sibuk dengan berkas-berkas digital pada tabletnya itu.

"Jadi, Rei. Apa kamu berhasil menaklukannya?" tanya Ayah. Jujur saja pada awalnya aku sempat bingung namun setelah berfikir keras, akhirnya aku berhasil mencerna kelimat tersebut.

"Ayah... Aku ini masih dua belas tahun," ucapku dengan ekspresi datar. Kami bertiga pun tertawa kecil dan di saat itulah suasana hangat telah tercipta. Sayangnya tak berlangsung lama.

Buar!

Suara ledakan yang tiba-tiba muncul langsung membuat kami bertiga terkejut bukan main. Yang lebih membuat kami khawatir lagi adalah bunyi alarm rumah sakit yang berdering begitu kencang, kami rasa hal itu sudah cukup menjelaskan bahwa rumah sakit ini sedang mengalami sesuatu yang tidak beres. "Kita harus segera pergi!" perintah Ayah tegas.

"Tapi kakiku sakit." Ayah tak menghiraukan perkataanku. Ia langsung menggendongku dan menarik Ibu, membawa kami ke luar ruangan secepat mungkin. Entah mengapa aku memiliki perasaan bahwa Ayah menyembunyikan sesuatu.

Semakin kutatap dalam matanya, semakin bisa kurasakan bahwa ia tengah menyembunyikan sesuatu. Meski begitu aku tak bertanya karena tidak ingin keadaan bertambah buruk.

Buar!

Suara ledakan kembali terdengar dan langsung menciptakan suasana yang semakin mencekam. Bisa kami lihat orang-orang berlarian kesana-kemari di sepanjang lorong. Hal ini tentu saja membuat pergerakan kami sedikit tersendat. Untungnya Ayah cukup lihai menggendongku dan membawa Ibu melewati kerumunan orang yang semakin lama semakin kacau ini.

"Tunggu, kita harus mencari Eryl dulu!" ucapku dengan suara yang agak keras agar dapat terdengar diantara kericuhan yang mengelilingi kami.

"Tidak ada waktu," jawab Ayahku tegas sembari terus memfokuskan diri melewati kerumunan orang yang berlalu-lalang.

"Tapi..." Sebenarnya aku ingin melawan, sayangnya diriku sendiri masih agak ragu. Bagaimanapun juga Eryl adalah sahabat terdekatku, bahan satu-satunya teman yang kumiliki.

"Mengertilah Rei..," ucap Ibuku berusaha menenangkanku. "Percayalah, Eryl akan selamat," lanjutnya.

"Benar, Rei. Eryl juga memiliki orangtua, mereka pasti selamat. Kita harus percaya akan hal itu," ucap Ayah berusaha meyakinkanku. "Dan agar kita bisa terus percaya bahwa Eryl dan keluarganya selamat, kita juga harus selamat."

"Baiklah." Setalah kupikir-pikir perkataan kedua orangtuaku ini memang benar. Untuk mempercayai bahwa Eryl selamat, kami juga harus selamat. Lagi pula apa artinya jika mereka selamat sedangkan kami tidak.

Buar!

Ledakan berikutnya kembali terdengar. Sialnya kali ini terdengar lebih keras pertanda ledakannya berjarak semakin dekat.

"Sial, kita tak akan sempat lari jika mengincar pintu depan. Kita harus pergi ke pintu belakang." Ayah langsung menggendongku lebih erat kemudian menarik Ibu untuk ikut berlari menuju pintu belakang rumah sakit.

Ayah dan Ibu terus berlari, hingga akhirnya kami hampir sampai di pintu belakang rumah sakit. "Pintu belakangnya ada di belokan itu," ucap Ayahku.

Aku cukup merasa lega, sayangnya rasa lega itu tak berlangsung lama dan segera digantikan dengan rasa ngeri. Tepat di depan pintu belakang rumah sakit, berdiri seorang pria berlapis baja hitam dari ujung kepala sampai ujung kaki.

Orang itu mengarahkan tangannya yang dilapisi oleh sarung tangan baja hitam ke arah kami. Perlahan sarung tangannya itu mengeluarkan listrik-listrik kecil yang semakin lama semakin membesar. "Checkmate," ucapnya.

Duar!!!

••< ALCORE - Kunci Enigma >••

ALCORE - Kunci EnigmaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang