"Paman, semua barang-barang yang penting sudah kumasukan ke ransel. Aku sudah siap," ucapku keras sembari menutup ranselku.
"Padahal, baru kemarin aku mengeluarkan semua perlengkapan ini. Semua ini benar-benar membuatku kesal." Aku berdiri tegak memegang pinggangku sembari menghembuskan nafas kesal dengan kepala yang sedikit tertunduk.
Rasa kesal yang datang entah darimana ini membuatku tanpa sadar melampiaskan kekesalan pada ranjang yang ada tepat di depan. Saat menyadarinya, aku merasa semakin kesal sampai mengacak-acak rambut. "Aaargh!" gerutuku.
"Jangan memikirkan hal tidak penting seperti itu. Kau harus fokus dan terus waspada," ucap Arsen, menasihatiku melewati pikiran--seperti biasanya.
"Ngomong-ngomong, apa hanya aku yang bisa mendengar suaramu itu?" Aku menyandarkan tubuhku yang masih dalam posisi berdiri ke tembok kamar.
"Tentu saja. Bukankah kau sudah tahu kalau aku menggunakan pikiranmu sebagai media komunikasi. Dan sebenarnya, kau bisa berbicara padaku tanpa harus mengucapkannya secara lisan," jelas Arsen.
"Maksudmu dengan hanya berfikir seperti ini?" batinku.
"Iya. Karena kita ini satu, aku bisa membaca pikiranmu dan kau juga bisa membaca pikiranku, meski kau belum sampai pada tahap itu," balas Arsen dengan nada datar, seperti biasanya.
"Eh... Entah mengapa semua ini terasa aneh dan menyebalkan. Tapi ini..." Aku melompat kegirangan. "Ini keren sekali!"
"Rei? Apa ada yang menarik di atas sana?!" tanya Paman Ed dari lantai satu.
"Eh iya, Anu... Aku bara saja melihat buku manga lamaku di lemari!" jawabku keras agar bisa didengar paman.
"Ngomong-ngomong soal manga, aku merasa seperti tokoh utama di manga-manga. Ini..." Badanku bergemetar, bersiap untuk kembali berteriak.
"Bodoh, simpan ocehanmu. Dasar tidak berguna," tegur Arsen.
"Maaf..." Aku menarik ranselku dan langsung memakainya. "Sebaiknya aku bergegas turun."
Aku berjalan pelan, selangkah demi selangkah menuju pintu kamar. Saat aku sudah sampai tepat di depan pintu kamar, aku berbalik sejenak untuk menatap kembali kamar yang mungkin tak bisa kulihat lagi ini. Kamar tempat aku dibesarkan. Rasanya perih meninggalkan tempat ini. "Semoga, aku bisa kembali suatu saat nanti," batinku.
"Ya, itu pasti. Saat keadaan sudah aman dan membaik, aku pasti bisa tidur di ranjangku lagi." Aku menutup pintu kamar sembari memejamkan mata.
Setelah menutup pintu, aku menyandarkan kepalaku ke pintu. Menarik dan menghembuskan nafas panjang. Aku membuka mata dan terus berusaha membuat diriku lebih optimis.
"Sebaiknya kita bergegas," ucap Arsen, memecah keheningan di kepalaku.
Aku hanya mengangguk kemudian mulai menuruni satu demi satu anak tangga. "Paman, kapan kita akan berangkat?" tanyaku saat masih menuruni tangga.
"Kamu akan berangkat lebih dahulu, kalau kamu mau berangkat sekarang juga boleh," jawab Paman sambil memindahkan beberapa kardus ke gudang. Mungkin kardus-kardus itu merupakan barang-barang penting yang perlu diamankan.
"Eh? Aku kan tidak tahu letak Base Terakhir Indonesia (Indonesian Last Base)." Aku berjalan ke arah sofa hijau yang sudah berada di tempat yang berbeda dengan sebelumnya. "Mungkin sebaiknya kita berangkat bersama."
"Rei, walaupun kita berangkat bersamaan, aku tidak akan mengantarmu." Paman Ed mengelap keringat di keningnya menggunakan punggung tangan.
"Maksud paman?" ucapku, masih dalam posisi berdiri karena kehilangan niat untuk duduk di sofa hijau yang empuk dan lembut itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
ALCORE - Kunci Enigma
Ciencia FicciónBerawal dari cahaya aneh yang jatuh dan masuk kedalam dirinya. Rei dipaksa untuk mengungkap kembali insiden kelam yang menghantui masa lalunya. Mengambil langkah maju bukanlah pilihan, melainkan sebuah keharusan. Putus asa, derita, dan tangisan adal...