1. Awal Yang Tidak Terduga.

144 7 0
                                    

Bagi Adara tersenyum di pagi hari adalah hal yang wajib. Selain senyum berguna untuk membuat jiwa positif masuk ke dirinya, senyum juga dapat membuat aura terpancar.

Tapi pagi ini rasanya sangat sulit untuk tersenyum. Kakaknya—Adera, sangat menyebalkan. Iya, Adara tau kalo Adera tipikal wanita penggila kerja dan pandai mengatur waktu, tapi kemarin malam Adera berjanji akan mengantarnya pergi sekolah, dan lihat sekarang Adara malah menemukan post it yang tertempel di pintu kulkas.

For my lil sister,

Morning dear. Sorry nggak bisa antar sekolah, ada meeting jam enam pagi. Harus sarapan! Harus berdo'a sebelum belajar! Pergi sekolah naik taksi, jangan naik bus, oke?

Adera.

Alhasil pukul enam lewat empat puluh baru selesai sarapan. Adara pun baru menyadari bahwa meeting bersama klien lebih penting dari dirinya.

Oh, c'mon don't be selfish. Adera nyari uang buat lo sekolah, makan. Batinnya berbicara.

Dengan langkah cepat ia berjalan menuju depan kompleks. Lima belas menit berjalan ternyata lumayan juga, uh sepertinya ini akibat tidak pernah berolahraga pagi. Lupakan masalah itu, ia menunggu taksi yang tidak kunjung datang di hadapannya.

Sebenarnya jika boleh memilih, ia lebih memilih bus dari pada taksi. Selain tarif taksi mahal, ia tidak suka suasana sunyi. Bus lebih bertarif murah, dan tentunya bersuasana ramai karena banyaknya penumpang. Entah mengapa sepertinya Adera mempunyai phobia dengan bus.

Padahal halte bus hanya berjarak lima meter dari tempatnya berdiri. Ugh, kalo tidak ingat perintah Dera—panggilan akrab Adera. Pasti ia sudah naik bus.

Ayolah please. Pelajaran pertama jam Bu Maya.

Adara bergerak gelisah, waktunya tinggal dua puluh menit lagi. Dengan menyeka keringatnya, ia pun berjalan mendekati halte bus. Hanya butuh waktu dua menit, bus berwarna orange sudah ada di depan mata. Tidak lagi memikirkan perintah Dera, ia pun naik dan mencari bangku yang kosong. Itu di sana, di samping Ibu-Ibu yang memeluk keranjang sayur.

Bisa bahaya kalo Dera mengetahui kelakuannya ini.

Saat ini Dara—panggilan akrab Adara, hanya memiliki Dera. Kedua orang tuanya meninggal tiga bulan yang lalu, karena kecelakaan pesawat terbang. Dara hanya bisa mempatuhi perintah Dera dan melaksanakannya.

Sorry sister, tapi nggak untuk sekarang.

Apalagi Dara dan Dera baru pindah ke Jakarta sekitar dua bulan yang lalu, setelah kematian kedua orangtuanya. Mengubah pikiran Dera untuk membeli rumah di kompleks kelas menengah di Ibukota, dan memulai hidup baru di sana. Mereka meninggalkan Malang—kota asal mereka. Bahkan Dara baru resmi menjadi siswi SMA Cendrawasih satu bulan dua minggu.

"Ssst."

Merasa ada orang yang memanggilnya, Dara pun mengedarkan pandangannya ke depan. Tapi tidak ada tanda-tanda orang memanggilnya, semuanya tampak sibuk dengan kegiatan masing-masing.

Setidaknya suasana di sini tidak membuatnya merasa sendiri. Walaupun mereka sibuk dengan kegiatannya, Dara tidak perlu merasa canggung karena berdua dengan sopir—ketika ia pergi naik taksi. Atau bisa dibilang Dara benci suasana sunyi dan kesendirian.

"Ssst..."

Astaga, suara itu lagi. Dengan menyakinkan dirinya bahwa panggilan itu bukan untuknya, maka Dara tidak ingin menoleh. Ia tetap memandang lurus ke depan, kemacetan Ibukota dapat menarik perhatiannya hari ini.

AnganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang