2. Butuh Cadangan Jantung.

75 5 0
                                    

Kalian tau apa yang dibenci Dara setelah ia membenci kesendirian?

Ya. Dara benci bila degup jantungnya terus-terusan bermaraton. Ia merasa jantungnya akan keluar di detik ini juga.

Padahal dari rumah ia sudah melafalkan do'a, agar tidak merasa nervous atau bertindak refleks ketika ia nervous yang jadinya akan memalukan dirinya sendiri.

Tapi percuma. Tuhan seperti tidak mendengar do'a nya. Ia sekarang masih mematung di depan pintu kelas, bel masuk masih lima menit lagi.

Dara menatap ke dalam kelasnya nanar, ia menggigiti ujung kukunya gugup. Tidak peduli bahwa baru kemarin ia mengkikir kukunya hingga rapih dan cantik, tidak peduli dengan tampang bodohnya yang ketara. Tapi ia peduli dengan jantungnya.

"Woi Dara masuk!" teriak Riska dari kelas.

Ah. Betapa beruntungnya Riska, ia sebangku dengan Fauzan. Sosok lelaki yang humoris dan lemot. Setidaknya tidak membuat jantungnya bermarathon.

Dara mendongakkan kepala, dan berjalan pelan. Ia berhenti di depan papan tulis, lalu mulai menghitung.

Meja nomor sepuluh ada di barisan ke tiga, kursi ke empat. Seketika meja itu menjadi horror, ia bergidik seram.

"Masuk Dara! Duduk," perintah Abel, dari baris ke satu kursi ke dua.

Dara meneguk saliva kasar, ia menimang-nimang keinginannya. Bisa saja ia alibi, untuk pergi ke toilet atau apa pun lah.

Dara pun berbalik badan dan seketika menjerit. "Masuk!" tegas Ciko di depan Dara.

Dara melongos pelan, ia berjalan pelan menuju meja nomor sepuluh.

Sepuluh.

Angka yang menjadi horror di kisah SMA nya.

Masalahnya, meja itu tidak terpenghuni. Teman sebangkunya, ekhem—Arfa, belum menunjukkan batang hidungnya.

"Nggak mau! Mau pulang!!" seru Dara.

Tere yang duduk di barisan ke dua kursi pertama mendecak kesal, "Sok nggak mau. Bilang aja senang."

"Yailah bersyukur lah bisa duduk sama doi, dari pada zonk."

"Lebay lo. Udah sih sana."

"Duduk Dara!"

Dara menghela nafas berat. Oke, sangat berat. Ia pun menaruh tas sekolah warna pink bercorak bunga-bunga di kursinya. Ia memejamkan mata, lalu bergumam pelan. Jangan gugup, anggap Arfa itu orang bisa, gumamnya.

Setelah itu Dara membuka mata, lalu mendesah frustasi. "Nggak bisa!" jeritnya tertahan.

Teman-temannya bertempat duduk jauh darinya. Entah ia harus senang atau bersedih. Senang karena mereka sulit untuk menggodanya, dan sedih karena tidak ada teman curhat.

Dara menenggelamkan wajahnya di lipatan kedua tangannya. Bunyi bel masuk mulai berbunyi, bertepatan dengan suara kursi yang diseret.

Jantung Dara sontak seolah berhenti. Kursi di sampingnya berderit pelan, lalu Dara merasakan seseorang menaruh tas di meja, dan ia mencium aroma parfum yang maskulin dan jantan.

Dara merasakan nafasnya memburu, ia mengigit bibirnya gugup. Gila, ternyata ini efeknya. Tubuhnya begitu panas dan jantungnya mulai menggila. Pikirannya kacau, semua panca indera miliknya seperti fokus kepada orang di sampingnya.

Dara mengangkat wajah slow motion, lalu melirik ke samping. Arfa! Pangerannya, sang pujaan hati.

Wajahnya tiba-tiba bersemu. Padahal mereka tidak berinteraksi, tapi wajah Dara memberikan reaksi yang berlebihan.

AnganTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang