81:: may i?

19.5K 1.1K 148
                                    

Tuk!

Gerakan tangan Alyssa yang sedang menulis terhenti sejenak. Ia menahan diri untuk tidak berteriak. Kemudian lanjut mencatat tugas yang ditinggalkan Bu Farida.

Tuk!

Alyssa mendengus kesal. Namun masih menahan diri.

Tuk!

"Kalvi!" Alyssa memukul mejanya dan menatap tajam seorang laki-laki  disampingnya. Untung saja kelas sedang ribut karena Bu Farida tidak  hadir dan hanya meninggalkan tugas pada guru piket. Jika tidak, mungkin  ia sudah menjadi pusat perhatian sekarang. "Jangan lempar-lempar  penghapus, bisa?"

"Kalo gue bilang nggak bisa gimana?" Dia tersenyum lebar seperti  sedang tidak melakukan kesalahan. "Abis jenong lu bikin gue pengen  mendaratkan penghapus di jidat lo, sih! Jadi jangan salahin gue, salahin  aja jenong lo."

Astaga! Kalvi adalah anak yang paling menyebalkan di dunia. Bagi Alyssa.

"Gue nggak bisa salahin jidat gue karena ini ciptaan Tuhan. Kalo mau nyalahin, salahin aja Tuhan tuh!"

"Astaga, Sa. Nggak boleh nyalahin tuhan, Sa. Dosa baru tau rasa lo. Ck  ck ck." Kalvi mengusap dadanya dan menggeleng, persis seperti ustad yang  baru saja menyaksikan maksiat di pinggir jalan.

Alyssa tidak tahu harus berbicara apa lagi sekarang. Kalvi sepertinya bukan orang yang pandai membaca situasi karena Alyssa saat ini tidak mau diganggu. Dari pertama menginjakkan kaki di sekolah ini, ia  sudah bertekad untuk tidak main-main dalam belajar. Karena situasi  keluarganya yang seperti sekarang, sangat tidak memungkinkan baginya  untuk kuliah tanpa beasiswa.

"Kal, daripada kamu motong-motong penghapus segede upil kayak gitu  terus dilempar ke jidatku, mending kamu kasih ke aku deh yang masih gede  itu tuh, yang masih bisa dipake." Alyssa menunjuk penghapus abu-abu  yang tinggal setengah di atas meja Kalvi. "Buang-buang duit aja."

"Penghapus kecil gini emangnya berapaan, sih? Di koperasi juga banyak.  Tinggal beli lagi." Kalvi melemparkan satu lagi dan mengenai tepat di  tengah-tengah jidat Alyssa.

"Nice." Ia tersenyum lebar.

"Kalo mau buang-buang duit nggak usah deket gue deh. Gue alergi sama  orang yang suka buang-buang duit. Uangnya juga punya orang tua lagi.  Persis kayak lo gini, nih." Alyssa mulai mencari jawaban dari  pertanyaan yang sudah disalinnya ke buku latihan. Alyssa tahu Kalvi  sedang memperhatikannya, namun ia tidak peduli. Ia pun tidak sadar bahwa Kalvi sedang menatapnya dengan tatapan abstrak.

[.]

Alyssa memutar pandangan ke bangku di sampingnya, tapi tidak  menemukan pemiliknya duduk di sana. Lima belas menit lagi pulang, namun setelah laki-laki itu izin keluar, dia masih belum kembali. Hanya tas hitam, buku yang terbuka, dan pena tanpa tutup di atas meja. Ke mana dia?  Di jam pelajaran Ekonomi biasanya ada satu lagi selain tiga hal itu.

Kepalanya. Karena Kalvi selalu tertidur saat jam pelajaran Ekonomi.  Karena ia pernah dengar kalau Kalvi benci Ekonomi dan segala tetekbengeknya. Cukup aneh untuk seorang siswa jurusan IPS di mana Ekonomi  merupakan mapel wajib.

Setelah sekitar lima bulan berada di kelas yang sama, setidaknya Alyssa mengetahui beberapa tabiat temannya, termasuk Kalvi. Karena Kalvi  temannya, teman yang duduk disampingnya.

"Daf," Alyssa berbisik dan menendang pelan bangku di depannya.

"Paan?" Daffa memutar badan ke belakang.

"Kalvi kemana? Cabut, ya?"

"Mungkin. Dia kan benci banget sama Eko. Lagian dia juga kena marah tadi sama Pak Ujang."

Sincerely, AlyssaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang