Chapter 3 : Outlaw

69 4 0
                                    

Aku mendengar suara benturan dan dentingan pedang tepat di luar pintu kamarku. Setiap detik suara-suara itu semakin dekat. Ini dia, pikirku. Ini saatnya aku mati. Setidaknya aku akan bertemu Ayahku sebentar lagi. Tapi mati ditangan Leviath tanpa perlawanan adalah hal yang memalukan jadi aku membongkar lemariku dan menarik belati yang diberikan ayahku.

Sesuatu membentur pintu kamarku dan aku melompat. Aku memegang belatiku tepat seperti yang diajarkan ayahku. Setidaknya aku mati dengan perlawanan. Harga diri. Itulah yang sering diajarkan ayahku. Ketika kau kehilangan semuanya, usahakan jangan kehilangan harga diri. Memalukan, Ayahku sering mengatakan banyak hal tapi hanya itu yang benar-benar aku ingat.

Aku bisa merasakan pintu kamarku bergetar seiringan dengan benturan keras pada pintu itu. Aku menghitung setiap suara keras itu sampai hitungan ketujuh, pintu itu tidak kuat lagi. Pintu itu terjatuh dan menampakan sosok yang telah menghancurkannya. Bukan, bukan seorang Leviath. Oh. Bukan seperti yang aku kira. Bukan Leviath sama sekali karena aku yakin orang-orang Leviath tidak memiliki rambut berwarna emas seperti itu.

"Ariston." Aku tidak menyangka kelegaan dalam suaraku sangat jelas seperti itu. Aku menatap Ariston. Dia terlihat capek. Wajahnya penuh luka, pakaiannya robek dibeberapa tempat dan menunjukan luka-luka lainnya. Dia membawa pedang tapi aku tidak mengenali pedang itu. Pedang Ariston sedikit lebih pendek dari itu dengan bilah berwarna emas. Pedang yang dipegangnya sekarang lebih mirip pedang tentara Leviath-Oh tentu saja.

Ariston melirik kebelakang dengan tatapan khawatirnya sebelum menatap aku dengan tatapan lega. "Elia. Para Leviath mereka-"

"Dari mana kau dapat pedang itu?" Aku menunjuknya dengan belatiku.

"Aku-Tunggu kau tidak mengira aku bersekongkol dengan Leviath kan?" Dia tertawa. "Tidak. Aku harus bertarung dengan tangan kosong untuk mendapatkan ini." Ariston menyentuh luka lebam di pelipisnya. "Yah aku dapat dua hadiah dari pertarungan itu."

"Tapi bagaimana kamu bisa ke sini?"

"Aku sedang dalam perjalanan hendak ke sini dan di tengah jalan, kegilaan pun dimulai." Kata Ariston. "Aku hendak kembali ke ruang pesta tapi pintunya tertutup dan selusin tentara Leviath menjaganya jadi aku kembali ke sini."

"Tapi bagaimana kau bisa ke sini lalu kembali ke ruang pesta lalu ke sini lagi?" Aku menambahkan dengan cepat. "Tanpa terbunuh. Tuhan tahu berapa banyak Leviath di luar sana."

"Terowongan." Katanya dengan santai. "Untuk pengungsian. Hanya beberapa orang yang tahu tentang terowongan itu termasuk aku. Pintu masuk terdekat ada di kamar di ujung lorong ini dan terowongan itu menuju taman Istana."

"Dan apa yang akan terjadi kalau kita berhasil melalui terowongan itu? Aku yakin di luar juga ada banyak Leviath."

Ariston pun mendekatiku dan dia mulai menceritakan rencananya.

"Baiklah kalau begitu." Aku mencengkram belatiku. "Kita akan lari."

"Dan tak peduli apa pun yang terjadi, terus lah berlari okay? Terus berlari dan ikuti rencana tadi."

Aku menelan ludah karena aku tahu apa yang dia maksud. Walau pun kami terluka atau salah satu dari kami mati, rencananya adalah untuk terus berlari. "Baiklah."

Ariston memimpin di depan dan kami berdua saling waspada. Tepat di luar kamarku, berbaringlah seorang tentara Leviath yang tadi berbicara denganku. Ariston berhenti di kamar dekat pintu masuk lorong dan dia pun membukanya dengan hati-hati. Hampir tidak mengeluarkan suara. Ariston membiarkanku masuk duluan sebelum menutup pintunya lagi. Kamar ini hampir mirip dengan kamarku dan kamar ini gelap tapi cahaya bulan dan api dari luar jendela membuatku dapat melihat tubuh yang tergeletak di kakiku. Aku mengernyit dan mundur sampai aku menabrak Ariston.

DisseverTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang