Kedua.
Dimas Arya P.
Dia ada disini!
Ku harap kalian tahu apa yang sedang aku lakukan sekarang. Iya, iya. Aku sedang memperhatikan Dimas dari jarak sedekat ini. Ingat, jarak tempat duduk antara satu dengan yang lainnya itu dekat banget lho. Apalagi ini ANGKOT. Bayangkan! Bayangkan!
Deg degan? Pasti lah. Cuma orang engga sehat yang biasa aja kalo ngeliat orang yang dia suka ada di depan mata. Bukan menurut aku aja. Tapi menurut pendapat orang lain juga, kok.
Setelah beberapa lama aku memperhatikan Dimas, akhirnya dia nengok juga. Mungkin karena ada kontak batin yang kuat kali yaa, antara aku dan Dimas. Makanya dia langsung sadar kalo aku liatin. Hahaha.
Nggak beberapa lama setelah nengok, dia senyum! Iya, seorang DIMAS ARYA P. SENYUM SAMA SEORANG MELINA AUDYA P. Gila, gila, gila! Karena salting, aku bukannya membalas senyumannya tapi malah memalingkan muka! Duh, bego banget sih aku. Kesempatan itu engga dateng dua kali kan? Argh! Imel beloon!!
Tanpa sadar, aku memukul kepalaku sendiri.
"Mel, lo kenapa?" Tanya Mezya panik. "Gapapa, Mez" jawabku sok tenang. Aku pun kembali merutuki diriku sendiri.
"Mel, serius lo kenapa?"
"Gue, sal--"
"Salting. Dia salting," kata Dimas tanpa menoleh. Aku dan Mezya hanya bisa cengo mendengarnya.
"Maksud lo apa?" Tanya Mezya.
Dimas pun mengangkat telunjuknya kearah bibirnya, berusaha membuat isyarat diam agar aku dan Mezya tidak membuat "keributan".
Aku dan Mezya mengerti.
Lalu dia kembali melanjutkan aktivitasnya. Menelpon seseorang. Sejak kapan? Ah, kurasa sejak aku memalingkan muka? Atau sejak aku merutuki diri sendiri? Atau sejak kapan? Ah. Pusing sudah aku dibuatnya.
"Dia suka sama bunga yang gue kasih? Terus coklatnya gimana?" Tanya Dimas dengan seseorang di telpon.
Bunga? Coklat? Untuk siapa?
"Yaah, seharusnya gue liat ekspresi salting nya dia. Pasti lucu yaa?"
"......"
"Besok gue harus kasih sendiri ke orang nya, udah dulu ya bro,"
Tut. Telpon terputus. Bersamaan dengan itu, sebuah senyuman mengembang di wajah Dimas. Ya, dia tersenyum. Tapi bukan untuk ku, melainkan untuknya.
Hatiku terenyuh saat menyadari bahwa orang yang aku spesialkan ternyata memiliki orang lain di hatinya.
Tak apa, aku kuat. Aku akan berusaha tersenyum seperti biasanya. Iya, seperti seorang Melina yang dulu. Itu saja, cukup.
"Mez, tugas nya dibawa kapan sih?" Kata ku kepada Mezya. Ini bukan trik murahan untuk mendapatkan perhatian kok, sungguh. Aku memang ingin bertanya tentang itu sekarang.
"Tugas apaan?" Jawabnya sambil berkutat dengan Gadget nya. Mezya ini, kebiasaannn bangettt.
"Tugas Mtk yang tadi pagi. Lo lupa?" Kata ku sarkastik.
"Biasa ae mba, nyelo"
Bener-bener yaa satu orang ini.
"Terserah lu, Mez"
"Jangan marah, Mel"
"Bodo amat, terserah lu. Terserah,"
Mezya tertawa. Ini orang aneh ya, di cuekin malah ketawa. Emang gila kali ya, si Mezya. Udah ah, males aku deket-deket sama dia. Engga sadar banget ya, kalo mood aku lagi turun kaya gini? Malah dibercandain. Huh bete.
"Udah Mel, gue tau alasan lo bete kenapa," kata Mezya sambil cekikikan.
Karena tak terima, aku pun menantangnya "emang apa?" Kata ku sambil menaikkan sebelah alis ku.
"Ehem, ehem. Mau gue bocorin sekarang nih? Publik loh Mel, publik" Kata Mezya sambil mengedipkan matanya. Ia pun melirik ke arah Dimas, seolah-olah memberikan ku peringatan agar tidak macam-macam.
"Mezya! Udah ah bercandanya. Enggak lucu tau,"
"Dim, lo tau gak? Si Imel itu--"
"Kiri pak!"
Angkot pun berhenti. Aku segera turun dan membayar ongkos angkot tadi, begitupun dengan Mezya dan... Dimas.
Selama perjalanan pulang, Mezya terus saja menggodaku. Aku jadi sebal. Akhirnya, aku memutuskan untuk tetap diam selama di perjalanan.
Oh iya, hari ini aku nebeng motornya Mezya. Makannya aku harus tetap diam kalau mau mendapat tumpangan gratis. Haha.
Aku pun memejamkan mata ku sejenak, mencoba meyakinkan diri ku sendiri bahwa aku tak apa. Hatiku tak terluka. Hatiku baik-baik saja.
Lalu pada akhirnya, aku membuka mata ku dan menyadari, bahwa semuanya tidak akan baik-baik saja.