The Truth

226 9 0
                                    

Aku terbangun di kamar yang terlihat asing, oh aku baru ingat kalau ini kamar yang kutempati di rumah Michele.

"Kau sudah sadar?" Suara lembut Michele menyapaku dari samping tempat tidur, aku mengangguk pelan, kepalaku sedikit pusing.

"Ini minum tehnya, kau baik-baik saja kan Melati? Sepertinya kau kelelahan ya?" Michele duduk di kasur sambil menatapku khawatir. Ternyata dia cukup baik dan lembut, pantas kalau Mike menyukainya. Mike oiya dimana dia?

"Mike..." ucapanku di potong olehnya "oh dia sedang mencari obat, sepertinya dia terlihat sangat khawatir padamu," ia tersenyum penuh arti, ada sirat kesedihan di matanya.

"Sepertinya aku bukanlah lagi wanita yang ada dihatinya dan aku juga tau bahwa kau memiliki perasaan yang sama, aku akan baik-baik saja Melati, aku ikhlas asal dia bahagia," aku termangu mendengarnya berbicara.

"Aku tak yakin Michele, apa mungkin dia juga menyukaiku?" Michele lagi-lagi tersenyum. "Kalian ini benar-benar kekanak-kanakan, itu sudah sangat jelas Mel, tak perlu dikatakanpun mata kalian sudah berbicara," aku menjadi gugup seketika, bagaimana mungkin Michele bisa tau perasaan ku dan Mike hanya dengan melihat tatapan kami? Aku merasa malu.

"Melati sudah sadar? Oh syukurlah aku sampai panik mencari cairan amoniak kemana-mana, kenapa sih kau tak punya minyak kayu putih atau apa gitu dirumah segede ini chel?" Mike terlihat sedikit frustasi memegang plastik yang kuyakini adalah cairan amoniak yang biasa digunakan untuk membangunkan orang yang pingsan.

"Kau tak perlu marah-marah Mike, aku baik-baik saja kok," ucapku sambil tersenyum agar ia yakin. "Yasudah aku tinggal kalian dulu ya, Mel Mike" Michele bangun dan meninggalkan kami berdua di kamar. Jantungku kembali tak bersahabat, kenapa berdua dengan Mike kali ini aku jadi segugup ini, atau karena Michele telah membuat mataku terbuka akan perasaannya.

"Kau benar sudah membaik Mel? Apa yang terjadi? Kenapa kamu nggak bilang kalau capek atau apa kan kita bisa pulang lebih cepat," keningnya berkerut terlihat sangat khawatir.

"Tenang saja Mike, i'm oke" aku belum siap menceritakan hal yang baru saja kualami, tentang ingatan itu, memikirkannya saja membuat hatiku seperti tertusuk.

"Tapi wajah kamu pucet Mel, kamu beritahu aku dong kalau ada apa-apa, ohya besok kita pulang ke Jakarta, aku sudah pesankan tiket dan pagi kita pulang Mel kamu kuat kan?" ya Tuhan aku sangat menyukai caranya memberiku perhatian.

"Em oke aku kuat kok, Mike kalau aku beneran gila seperti yang Arjuna bilang apa kamu masih mau berteman denganku?" Mike terlihat sedikit terkejut dengan ucapanku.

"Mel kamu nggak gila, kamu cuma sakit aja dan aku yakin kamu bakal sembuh, aku sayang sama kamu Mel, apapun yang terjadi sama kamu aku akan tetap di sisi kamu," aku menatap matanya baru kusadari bahwa bola matanya sangat menghanyutkan dan membawa ketenangan.

Kami bertatapan cukup lama, tiba-tiba tangannya memegang pipiku yang kuyakin kini bersemu merah, tubuhnya mendekat dan semakin mendekat, aroma parfumnya tercium semakin kuat,panas tubuhnya dan irama nafasnya dapat kurasakan, bahkan aku bisa mendengar detak jantungku, aku memejamkan mataku hingga ia mendaratkan sebuah ciuman manis yang membuat darahku berdesir.

Ketika mataku terbuka ia menatapku dengan tatapan yang Michele katakan, "Mel aku cinta sama kamu, bisa nggak kita lebih dari sekedar teman?" Aku tersenyum tak berani menatap matanya dan menganggukan kepalaku yang tak lagi pusing. Malam ini adalah malam terindah, aku bisa melupakan luka yang bertahun-tahun terpendam dalam ingatanku yang terkubur.

"Aku juga mencintaimu, Mike" ia terlihat sangat bahagia, aku tak percaya bahwa kami yang awalnya bermusuhan bisa menjadi teman dan bahkan sekarang lebih dari itu.

I Know What You ThinkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang