3

28 3 0
                                    

Hari minggu yang cerah. Namun, tak begitu dengan Cinta. Ia menjadi lebih diam semenjak perkataan Dera kemarin. Kini, ia hanya duduk seorang diri dihadapan televisi. Mata dan pikirannya tak searah. Anas. Ia teringat akan Anas yang tak datang kerumahnya di hari minggu seperti ini. Ia mengambil ponselnya dan langsung menghubungi 'Bang Nanas'

Tak menunggu waktu lama. Anas langsung mengangkatnya. Ia begitu sigap jika mengenai Cinta.

'Ya Nta? Ada apa?' ucapnya diseberang sana

'Cinta bosen, Bang. Sini dong.'

'Ohyaampun.. Enta ocen? Ental ya, Nanas ke umah Enta nih.' ucapnya seperti anak kecil, celat.

Cinta hanya tertawa dan mengakhiri panggilan. Abangnya, Anas, selalu pandai mencari cara agar Cinta kembali tersenyum. Apapun itu. Bahkan ia siap berbuat hal gila dihadapan Cinta, asalkan Gadisnya itu tertawa. Kebahagiaan Cinta, adalah segalanya baginya. Melihat Cinta yang belakangan ini murung, membuatnya harus memutar otak agar Cinta tetap menjadi periang.

Namun, Anas sadar. Saat ini, Titik kebahagiaan Cinta ada pada Dera. Bukannya Anas. Ia sadar itu. Ia hanyalah pelarian saat Cinta benar-benar merasa sakit dan lelah. Ia mengetahui itu. Walau terkadang ia sendiri benci dengan hatinya yang terus saja tertuju pada Cinta yang selalu mengabaikannya saat sudah mendapatkan kebahagiaan. Apakah Anas harus benar-benar melepasnya dan membiarkan Gadis itu mandiri tanpanya disamping saat Gadis itu terluka dengan rasa cintanya sendiri?

"Cinta mau apa? Hmm? Daritadi Bang Nanas udah disamping Cinta, tapi Cinta malah diam aja."

Cinta menatap sendu kearah Anas. "Cinta bosen"

"Yaampun. Cinta 'kan bisa bilang kalau bosen. Yuk kita jalan. Maunya kemana? Hmm?" Balasnya dengan semangat. Ia berusaha membangkitkan semangat Cinta kembali dengan cara apapun itu.

"Kita ke Mall aja ya, Bang."

"Oh ayok." Anas bangkit dari duduknya dan berjalan mengambil mobilnya yang terparkir di garasi rumahnya.

"Bang Anas." panggil Cinta. Langkah Anas terhenti dan menghampiri Cinta
Cinta langsung memeluk erat tubuhnya. Sontak saja itu membuat tubuhnya seketika membeku. Kaku.

"Makasi ya untuk semuanya. Bang Nanas selalu ada buat Cinta. Dan Cinta belum bisa balas itu." Cinta melepaskan pelukannya beralih menatap Anas
"Janji ya, kita bakal selalu seperti ini? Janji kalau semuanya gak akan berubah. Bang Nanas tetap abang Cinta dan Enta tetap adiknya Bang Nanas"

Seketika tubuhnya mendingin. Suhu ditubuhnya menurun. Apa yang harus ia jawab? Ia hanya terdiam dan akhirnya tersenyum kaku kearah Cinta. "Janji." Ucapnya takut.

"Yaudah, abang pergi ambil mobil ya." Cinta hanya mengangguk

Sementara di lain tempat, ada Dera yang tengah duduk di atas ranjangnya sambil memegang ponselnya. Sesekali ia melambungkan ponsel itu ke udara.

'Deo' Dera langsung mengangkat panggilan dari sahabat kecilnya itu. Panggilan yang sedari tadi ia nanti. Karena ia sedang tidak memiliki pulsa untuk menghubungi sahabatnya itu.

'Hallo Der?' panggilnya dari sebrang sana

'Akhirnya lo telepon gue. Udah lama gue nunggu'

'Lo sih. Ganteng-ganteng tapi kantong kering.'

'Kalau masih harta orang tua, gak usah songong lo'

'Udah ah. Lo mau ngomong apa ke gue? Kangen lo?'

'Bukan, De. Najis amat dah kangen ama lo!'

Dear, Dera...Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang