0 4
volts
Apa yang membuat Linc akan membocorkan rahasia si pembunuh berantai jika Astac terus menerus membuatnya tersengat listrik?
Jawabannya; menyerah.
Tujuan Astac membuat Linc menderita dalam tujuh tahun terakhir ini adalah untuk membuat Linc menyerah, kesepian, tak memiliki tempat berlindung, dan karena hanya Astac orang yang paling berkuasa yang Linc ketahui, lama kelamaan gadis itu akan jatuh berlutut memohon perlindungan kepadanya. Itu akan terjadi, dan saat itu terjadi, maka Linc akan melakukan apapun agar mendapat pengampunan dari Astac—termasuk membeberkan rahasia itu.
Tapi bukan hanya Linc yang dipermainkan. Astac juga, oleh seseorang yang berada di tingkat lebih tinggi daripadanya. Atasannya. Walaupun mereka menginginkan satu hal yang sama, mereka berada di satu tujuan yang sama; Astac tetap merasa dipermainkan.
Orang itu memakai jubah hitam seperti penyihir kuno, ditambah dengan wajahnya yang setengah rusak dan tongkat peraknya yang berkilau di antara cahaya redup ruangan. Pria itu tak pernah tersenyum, namun nada bicaranya terdengar seolah dia selalu tergelak. Jenis cara berbicara atasan yang memandang rendah para hambanya.
"Jadi, kau belum dapat informasinya?" tanya pria itu. "Sudah kuberikan kau waktu tujuh tahun, Salazar."
"Kenapa tak kau sendiri saja yang mengurus bocah perempuan itu, kalau kau selalu mengomentar cara kerjaku?"
Dalam urusan tatapan jahat, pria tua itu menang. "Lebih banyak hal penting yang perlu kuurus daripada seorang gadis muda," kata si pria. "Sama saja seperti kau merekrut si bandit Horan itu. Aku tak yakin kau akan berhasil dengan adanya dia."
"Kau sepertinya salah definisi," komentar Astac. "Kitalah banditnya."
"Aku bukan bandit," kata si pria. "Aku calon penguasa dunia, dan semua akan bertekuk lutut padaku—termasuk para penguasa negeri." Dia merentangkan kakinya dan mengerang. "Aku harus pergi, waktuku bukan hanya untuk memeriksa gadis itu."
Walaupun Astac kerap kali menentang, namun ada satu yang tak pernah lupa ia lewatkan; menghormati si pria dan membungkuk setiap kali pria itu berjalan masuk atau keluar ruangan. Walaupun baru saja Astac bersikap sedikit kurang ajar pada atasannya, dia melakukan itu. Si pria hanya mengangguk sedikit, seolah tak sudi untuk memberikan lebih banyak gerakan seperti balas membungkuk atau setidaknya hanya mengangguk dua kali. Kemudian, walaupun dengan tongkatnya, si pria berjalan dengan cepat dan membanting pintu sampai tertutup.
Pada saat itulah, Aim menghubunginya lewat talkie walkie mengatakan sesuatu tentang Linc yang mulai kembali berhalusinasi.
"Sudah waktunya untuk elektroshock," kata Astac. "Aku akan ke sana segera, dan jauhkan psikiater muda itu dari lantai lima."
▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬▬
"Apa yang kauinginkan?" tanya Linc lirih. "Kau sudah merebut semuanya, sudah tak ada lagi yang bisa kaurebut."
"Tidak, Linc—belum semua," jawab Astac pelan.
Gadis itu menahan rintihan saat para perawat mengencangkan selimut pengikatnya, dan walaupun sudah terbiasa dengan mesin yang ada di kepalanya; Linc masih belum bisa mengenyahkan perasaan ngeri kalau kematian bisa kapan saja melahapnya bulat-bulat sementara ribuan volt listrik bersemayam di kepalanya.
"Ini adalah salah satu dari sistem pengobatan, Nona," Astac melanjutkan dengan keras saat para dokter masuk ke dalam ruangan. "Yang kami bingungkan adalah; mengapa kau tak kunjung sembuh?"
Astac yakin dia sempat mendengar Linc menyemburkan kata-kata kasar, sebelum ia menekan tombol nyala dan listrik diluncurkan. Salah satu perawat buru-buru menyumpalkan kain ke mulut Linc agar gadis itu tidak berteriak keras yang bisa menghancurkan pita suaranya, sementara perawat lain menahan rahang Linc agar tetap tertutup.
"Bagaimana kondisinya?" tanya Dokter Jane.
"Buruk," kata Astac seraya menggeleng pelan. "Kita harus meminimalisir dosisnya, dan memaksimalkan obat-obatannya. Untuk itu, biar aku yang urus. Kau, silahkan urus dosis listriknya."
Jane menatap Linc yang melawan di bawah selimut pengikatnya. Dari cara gadis itu berbicara, dari cara gadis itu menatap, Jane tahu bahwa ada sesuatu yang salah dalam diri Linc. Gadis itu tidak seperti pasien lain, jadi pantas saja jika Astac ingin sekali agar gadis itu cepat sembuh. Jane tersenyum dan mengusap dahi Linc (sementara di bawahnya Linc menjerit kesakitan). Astac pasti sayang sekali padanya, karena dia ingin melakukan apapun demi kesembuhan Linc.
Tanpa Jane tahu, bahwa sebetulnya Astac menginginkan hal lain. Dan itu bukan tentang kesembuhan, melainkan kekuasaan.
"Aim, tolong tutup rahangnya agar dia tidak menjerit," kata Jane.
"Siap, Nyonya."
"Kita butuh meminimalisir dosis listriknya. Kau, turunkan voltnya," perintah Jane. "Atas perintah Astac."
Si petugas menyeringai sedikit saat Jane sedang tidak melihat, dan malah menaikkan listriknya dengan main-main.
Linc memejamkan matanya. Sudah tujuh tahun dan Linc tetap tak bisa menahan rasa sakitnya. Gadis itu menghembuskan dan menghela napas pelan-pelan, namun rasa sakitnya kian bertambah. Dia ingin berteriak meminta tolong, namun mulutnya tersumpal kuat sampai sesak napas rasanya. Dia ingin bergerak dan kabur, namun selimut mengikatnya. Ia terperangkap di dalam, dan ia bertanya-tanya apakah di detik selanjutnya dia masih mampu bertahan.
Pemikiran akan kematian membuatnya sedih dan marah, karena dia sudah melewati begitu banyak kematian orang-orang di sekelilingnya... sudah terlalu banyak yang ia lewati, dan disinilah hidupnya berakhir? Di tangan para perawat konyol lulusan SMA yang bahkan tak tahu obat-obat yang benar untuk menyembuhkan para pasien?
Seabad kemudian, listrik yang menyengat sudah redup. Atau mungkin dia yang redup. Linc tak tahu, karena semuanya menjadi begitu gelap.[]
KAMU SEDANG MEMBACA
insane • n.h
FanfictionSemua tempat dan penghuninya memiliki rahasia mereka masing-masing. Beberapa membuatmu penasaran, beberapa yang lain membuatmu mundur. Niall Horan, remaja genius yang memilih untuk mendedikasikan hidupnya pada bidang psikologis, yang membuat ia terd...