Pyaarr! Gelas berisi Cappuccino Mousse yang dipenuhi beberapa balok es batu itu terlepas dari tanganku, pecah berceceran di lantai keramik halaman rumah baruku. Sial! Padahal aku belum mencicipinya. Dengan dada yang tiba-tiba terasa sesak dipenuhi amarah meluap-luap, kuhampiri penyebab jatuhnya minuman buatanku sendiri itu. Sebuah bola basket yang sudah kusam tampak dengan santainya bergerak-gerak di dalam sebuah pot bunga lavender yang baru saja bersemi dua hari yang lalu. Sial. Bungaku ikut berantakan dan bahkan potnya sedikit retak!
Aku segera keluar dari pagar besi halaman rumah sambil menenteng bola basket keparat itu. Mencari-cari kira-kira siapa pemiliknya. Kutoleh ke kanan dan ke kiri, tetap tak kulihat satu orang pun di sekitar sini. Apa ini bola setan? Pasti pelakunya masih berada di sekitar sini.
Setelah yakin dan pasrah karena tak juga menemukan pelakunya, kuputuskan untuk kembali ke rumah. Percuma mencari-cari seseorang yang pasti sudah kabur dari tadi. Saat berbalik, tubuhku hampir saja menabrak seseorang. Tubuhnya tinggi, kira-kira dua puluh sentimeter lebih tinggi dariku. Wajahnya pucat dengan rahang yang mengeras dan gigi yang gemeretak menahan emosi. Matanya yang hitam legam menatapku tajam, membuatku merinding seketika. Aku susah payah menelan ludah. Dengan kasar, direbutnya bola basket yang ada di tanganku yang gemetar. Setelah itu, dia berlalu begitu saja. Bahkan dia tidak meminta maaf! Dasar cowok tidak tahu diri!
“Elberta! Apa yang kaulakukan di sini?”
“Eh, Nicola?”
“Kau benar-benar tampak seperti orang tolol. Lihat pakaianmu!”
“Eh?”
Nicola benar! Gawat! Mana mungkin aku berhadapan dengan seorang cowok yang baru kukenal dengan pakaian seperti ini? Pajama berwarna putih pucat yang tingginya hanya sepuluh sentimeter di atas lututku. Gila!
“Wajahmu merah, Elberta. Tenang saja, kita ‘kan sama-sama cewek. Lebih baik kau segera masuk ke dalam rumah sebelum orang lain melihatmu. Cepat!” didorongnya tubuhku yang masih terpaku di tempat.
***
“Kau ada perlu apa? Tumben tidak menghubungiku dulu.” Apfelkuchen di hadapanku masih mengepul hangat, membuatku tidak sabar untuk segera melahapnya.
“Well, sebenarnya aku tidak berniat ke rumahmu. Aku hanya sedang berjalan-jalan, tapi saat aku melihatmu tadi, aku jadi ingat film yang kau ceritakan padaku waktu itu. Kelihatannya keren!”
“Spoorloos?”
“Tepat sekali! Dan kau tahu, teman-teman sekelas kita banyak yang terkena demam setelah menonton film itu. Aku jadi penasaran.”
“Sudah puluhan kali kau menceritakannya padaku, Nic.”
“Aku betul-betul ingin menontonnya dan membuktikan bahwa mereka penakut!”
“Mereka demam bukan karena film itu, tetapi karena kondisi badan mereka memang sedang tidak sehat ketika menontonnya.”
“Ah, kau ini. Buktinya, Roberto, Vincent, Allen, dan Edeline menderita demam bersamaan dan suhu tubuhnya tinggi tepat setelah menonton film itu.”
“Buktinya, aku yang sudah lebih dari tiga kali menontonnya, tidak pernah menderita demam. Kau memang berelebihan.”
Spoorloos merupakan sebuah film produksi Belanda, film psikopat paling jahat dan mengerikan yang disutradarai oleh George Sluizer. Nicola yang berlebihan itu selalu menganggap setiap orang yang telah selesai menonton film itu akan langsung sakit, demam, dan semacamnya.
“Jadi bagaimana? Kau mau meminjamiku film nya ‘kan?”
“Aku rasa, sudah puluhan kali kau berniat ingin meminjam film itu, tetapi toh ujung-ujungnya pasti kau sendiri yang pura-pura lupa atau tiba-tiba merasa sedang tidak mood untuk menontonnya.”
“Kali ini aku benar-benar akan meminjamnya darimu!”
“Mengaku saja bahwa kau sebenarnya takut menonton film thriller seperti itu, Nic!” aku menjulurkan lidah, dan wajah gadis itu bersemu merah.
“Ah, kau ini selalu mengolokku. Akan kubuktikan bahwa aku bukan penakut seperti mereka!”
Dan Nicola pun naik ke lantai atas, ke mana lagi kalau bukan ke kamarku. Aku segera mengikutinya dari belakang sambil membawa sepiring kue apel kesukaanku.
“Kau menaruhnya di mana, Elberta?” gadis yang tidak tahu sopan santun itu mengobrak-abrik rak buku dan isi lemariku. Dasar gila. Tidak mungkin aku menaruh keping CD di dalam lemari pakaian. Tetapi dia sahabatku – dia orang yang paling dekat denganku sejak aku pindah ke belahan selatan kota Rotterdam ini sekitar sebulan yang lalu, dan di kelas, dia juga sebangku denganku – sehingga aku membiarkannya bersenang-senang dengan pencariannya meski harus membuat kamarku berantakan, padahal aku baru saja membereskannya dua jam lalu.
Dengan santai aku berjalan menuju meja komputer yang terletak tepat menghadap ke luar jendela. Mengambil sekeping CD dengan cover Spoorloos. Tentu saja hal itu segera membuat Nicola bahagia hingga meloncat-loncat di atas ranjangku. Aku hanya melotot ke arahnya ketika kulihat sebuah bantalku terjatuh ke Teppich tebal berwarna coklat. Sudah kubilang ‘kan tadi, dia gadis yang tidak tahu aturan? Tetapi aku menyayanginya seperti saudara kandungku sendiri.
Pyaarr! Nicola terjingkat, begitupun aku. Kaca jendela kamarku pecah dan sebuah bola basket meluncur mengenai kepalaku. Sialan! Siapa lagi yang melakukan hal menyebalkan ini?
Aku segera melongok keluar jendela, melihat ke bawah. Cowok itu. Cowok yang tadi pagi bertemu denganku di halaman rumah. Dia memberiku isyarat untuk turun. Dadaku berdegup kencang, dipenuhi kemarahan atas tindakannya yang kurang ajar itu.
Bagaimana mungkin dia melempar kaca jendela kamarku hingga pecah, sementara kami kenal pun tidak? Bola basketnya bahkan mengenai kepalaku. Bukankah itu termasuk tindakan kriminal?
“Siapa dia?” Nicola berbisik di telingaku. Dia ikut-ikutan mengintip cowok itu dari belakangku.
Tanpa menjawab, aku segera turun dan bersiap menghujani cowok itu dengan segala macam umpatan.
“Apa yang kau lakukan?” aku mencoba mengatur nada suaraku agar tidak terdengar gemetar. Entah kenapa, berhadapan langsung dengan cowok ini membuatku selalu merinding. Mungkin karena tatapannya yang dingin dan wajahnya yang terlihat tidak ramah.
Cowok itu memberi isyarat agar aku menyerahkan bola basket yang kini berada di genggaman tanganku. Dengan kasar kulempar bola itu dan mengenai wajahnya.
“Apa maumu?? Apa salahku sehingga dengan santainya kau berani-beraninya melempar kaca jendelaku hingga pecah?!” kudorong tubuhnya yang tinggi dan kekar itu.
“Elberta!” Nicola menarikku, kemudian berbisik pelan.
“Cowok ini tampan sekali. Jangan marah-marah padanya, aku ingin berkenalan dulu dengannya.”
"Persetan!" kembali kuhampiri cowok yang telah mengacaukan hariku di awal musim semi pagi ini.
Cowok itu menunjukkan bola basketnya padaku.
“Apa?!”
“Kau membuatnya kotor. Jangan kau pikir aku tak tahu, bola ini tadi masuk ke dalam pot bungamu yang tanahnya masih lembab. Kau lihat ini?”
Suaranya dingin dan dalam. Lebih menyerupai desisan yang halus dan menusuk.
Kuamati bola itu. Ada bercak tanah di sana. Ya Tuhan… Kumohon. Cowok ini berlebihan sekali! Ini sama sekali masalah yang sangat tidak penting untuk dibahas jika dibandingkan dengan pecahnya gelasku tadi pagi diikuti pecahnya kaca jendela kamarku! Keterlaluan!
“Kau! Apa maksudmu? Kau tak sadar, bolamu telah…”
“Telah menghantam gelasmu hingga pecah, dan barusan juga membuat kaca jendela kamarmu mengalami nasib yang sama? Hh.” Cowok itu tersenyum miring.
“Kau…”
“Urusan kita belum selesai.” Lanjutnya. Kemudian dia berlalu dari hadapanku, lagi-lagi tanpa mengucap maaf.
Urusan kita belum selesai.
Baiklah. Aku juga mempunyai pikiran yang sama. Lihat saja nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
He'd Never Stop! (Devil 1)
Mystery / Thriller"Urusan kita belum selesai." Suaranya dingin dan dalam. Lebih menyerupai desisan yang halus dan menusuk.