Dok dok dok!
Aku berjalan mengendap-endap menuju pojok kanan ruang tamu, mengambil vas bunga dari keramik yang berukuran cukup besar.
Dok dok dok!
Berhenti menggedor pintu seperti itu, bodoh!
Aku memutar anak kunci dan bersiap dengan vas bunga di tanganku. Pintu itu akhirnya terkuak dengan cepat, dan aku dengan sigap menghantam kepala itu dengan vas yang kupegang.
Sial! Bodoh!
Orang itu menjerit kesakitan dan bangkit lagi dengan tertatih.
“Maaf, Mister! A-aku sangat ketakutan, kukira tadi… Oh, maaf sekali lagi. Keningmu berdarah. Aku…”
“Tidak apa-apa, Miss Eustacia.” Polisi itu meringis sambil memegangi kepalanya yang pasti sangat sakit. Vas bungaku pecah dan berserakan di lantai. “Aku hanya ingin mengingatkan supaya jangan lupa mengunci semua pintu dan jendela rumah Anda. Mungkin tersangka itu sedang dalam perjalanan ke sini, Miss Eustacia. Anda harus lebih waspada. Untuk sementara aku akan berjaga di sekitar rumah Anda. Sementara itu, beberapa rekan polisi yang lain akan memburu Antonio Eld… eld…”
Tubuh polisi yang tinggi dan kekar itu roboh, digantikan dengan sosok yang tak pernah kuharapkan akan mampir lagi dalam hidupku.
“Aaaaaahh!” aku menjerit keras mengetahui polisi itu pingsan dan kini, Antonio Eldorra tengah berdiri di depanku dengan jarak kurang dari satu meter, sambil membawa sebuah tongkat kayu yang cukup besar.
Aku bergegas masuk dan menutup pintu, namun gerakan cowok psikopat itu sungguh sangat cepat. Dia menahan tanganku dan mamaksa masuk. Aku mendorong pintu dengan sekuat tenaga, membuat tubunya yang tinggi dan kekar itu terpelanting ke halaman. Dengan cepat segera kukunci pintu dan kututup semua tirai.
Aku berlari menuju meja telepon untuk menelepon kantor polisi.
Pett!
Sial! Lampu tiba-tiba mati. Dan sambungan telepon terputus. Dalam gelap, aku berusaha menaiki tangga dan bermaksud bersembunyi di dalam kamar.
Praang!
Aku yakin betul bahwa itu suara kaca pecah.
Aku sudah berada di dalam kamar. Meja dan dua kursi aku letakkan di belakang pintu setelah menguncinya. Kututup tirai jendelaku setelah memastikan bahwa jendela itu sudah terkunci rapat dan tak mungkin bagi Antonio untuk masuk melaluinya.
Tuhan, tolonglah aku!
“Elberta Eustacia!” suaranya dalam dan menusuk.
“Kau tahu namaku?!” teriakku spontan. Ups! Aku segera membodoh-bodohkan diriku sendiri sambil membungkam mulutku dengan kedua telapak tanganku. Seharusnya kau diam saja, Elberta! Dasar tolol!
“Elberta, buka pintunya, atau aku akan mendobraknya!”
Dobrak saja! Aku sudah mengunci pintu dan meletakkan sebuah meja dan dua kursi di belakangnya. Dia takkan bisa mendobraknya. Dipikirnya dia sekuat apa? Aku tahu itu hanya gertakannya saja.
Brakkkk!
Aku masih meringkuk di dalam lemari pakaianku, kali ini gemetar hebat. Kuintip dari celah lubang kunci, Antonio berhasil mendobrak pintu kamarku.
“Elberta, keluarlah! Aku tahu di mana kau bersembunyi!”
Pisau buah dalam genggamannya mengkilap di tengah kegelapan. Aku semakin gemetar dan memegangi lututku sendiri. Peluh bercucuran dan nafasku memburu.
“Elberta!” Brakk! Tubuh Antonio menabrak bola plasma mainanku di atas meja komputer. Bola plasma itu terjatuh dan aku sangat yakin, pecah berantakan di lantai keramik.
Kini aku mulai bisa merasakan lemari ini bergetar, mengikuti getaran tubuhku yang tidak menentu. Aku mengintip dari celah lubang kunci, kali ini Antonio benar-benar menatap ke arahku.
Ditendangnya lemari tempatku bersembunyi. Spontan aku menjerit sekeras-kerasnya. Dia bahkan mendobrak pintu lemariku.
“Tidaaak! Jangan! Kumohon jangan bunuh aku, Antonio…”
Aku menangis meraung, Antonio justru tersenyum licik menatapku. Dijambaknya rambutku dan diseretnya aku keluar dari kamar.

KAMU SEDANG MEMBACA
He'd Never Stop! (Devil 1)
Mystery / Thriller"Urusan kita belum selesai." Suaranya dingin dan dalam. Lebih menyerupai desisan yang halus dan menusuk.