“Jadi kau mengenalnya?” Nicola berbisik di telingaku, takut suaranya yang memang selalu keras dan hampir tidak bisa dipelankan itu terdengar oleh Ms. Furori yang sedang menerangkan soal matematika di depan kelas.
“Iya. Eh, maksudku, tidak.” Suaraku tak kalah pelan.
“Iya atau tidak?”
“Aku dua kali bertemu dengannya, tetapi aku tidak tahu siapa namanya dan siapa dia. Kau mengenalnya?” Jujur saja, hari ini aku tidak bisa konsentrasi di kelas.
“Tidak.”
“Bukankah kau sudah lama di sini? Aku orang baru, harusnya kau lebih sering melihatnya.”
“Tidak, aku tidak pernah bertemu dengannya sebelumnya. Mungkin dia juga orang baru.”
“Sok tahu.”
“Kau tidak menanyakan namanya dan di mana dia tinggal?”
“Pentingkah?”
“Tentu saja! Hampir tidak ada cowok yang setampan dia di sekolah ini.”
“Bisakah sebentar saja kau berhenti memikirkan laki-laki? Kau masih ingat berapa nilai ujianmu semester lalu, ‘kan?”
“Hei, kenapa kau mengaitkannya dengan masalah ini? Bukankah…”
“Nicola Scarlatti!” suara Ms. Furori terdengar seperti petir di siang yang cerah dan cukup berangin ini.
“Bukankah aku sudah bilang, jangan bicara di kelas sewaktu diajar oleh Ms Furori!” aku membentaknya pelan.
“Eh? Kapan kau bilang itu padaku?”
“Baru saja! Kau tak dengar?”
“Diam! Kau juga, Elberta Eustacia! Apa yang kalian bicarakan? Kita sedang belajar matematika, dan kalian malah dengan asyiknya membicarakan laki-laki, hah?”
“Kau menguping pembicaraan kami?” Nicola bertanya dengan tampang innocent nya. Wajah guru matematika itu seketika merah padam.
“Kalian berdua, silakan keluar!”
“Dengan senang hati!” dengan cekatannya, Nicola menggandeng tanganku dan menarikku keluar kelas, diikuti geraman pelan guru wanita itu.
***
“Bagaimana film nya, Nicola?” sepanjang jalan pulang dari sekolah, aku menendang-nendang bebatuan kerikil yang berserakan di tepi trotoar. Tidak biasanya trotoar sekotor ini. Tanah-tanah halus juga tampak berceceran di atasnya.
“Huh?”
“Spoorloos. Kau sudah menontonnya, ‘kan?”
“Eh, hmm. Yeah, kau tahu? Semalam aku sibuk dengan tugas-tugasku di rumah. Kau tahu sendiri, orangtuaku sedang mengunjungi rumah Opa, jadi aku sendirilah yang harus mengurus diriku sendiri sampai mereka pulang.”
“Aku bosan mendengar alasanmu, Nicola. Klasik sekali.”
“Diam kau, Elberta!”
“Hahaha. Tidak usah malu mengakui bahwa kau penakut film-film thriller seperti itu, Nic.”
“Aku tidak takut, aku hanya…”
“Kau ingin tahu sesuatu?”
“Apa?”
“Aku sendiri sebenarnya juga belum pernah menontonnya.”
“Apa?? Apa maksudmu?!”
“Well, aku sama sekali belum pernah menonton Spoorloos, asal kau tahu.” Aku memelankan suaraku sambil sesekali menoleh sekeliling.
KAMU SEDANG MEMBACA
He'd Never Stop! (Devil 1)
Mystery / Thriller"Urusan kita belum selesai." Suaranya dingin dan dalam. Lebih menyerupai desisan yang halus dan menusuk.