Aku duduk termenung di balkon kamar Nicola. Sementara itu, jasad Episch masih berada di dalam kardus bekas mie instant yang kini tergeletak di ujung kakiku.
“Elberta,” Nicola datang membawakan segelas jus apel dingin. “Minumlah dulu. Tenangkan pikiranmu.”
Maaf, Nic. Aku sedang sama sekali tidak ingin apapun kecuali Episch.
“Elberta?” Kali ini Nicola mengguncang bahuku. Menyerahkan selembar saputangan padaku. Kuseka airmata yang menggenang di pipiku. “Kalau kau mau, aku akan menemanimu membeli kucing baru sebagai pengganti…”
“Kau pikir semudah itu?!”
Nicola terdiam ketika aku membentaknya.
“Maaf, Elberta.”
Gila. Ini benar-benar gila! Siapapun dia, yang telah melakukan pembunuhan terhadap Episch, adalah orang yang sudah sinting. Bagaimana mungkin dia tega membunuh kucingku yang sangat menggemaskan itu? Kalau aku bertemu dengannya, aku akan melakukan hal yang sama seperti yang telah dilakukannya pada Episch. Aku akan mencungkil kedua bola mata orang itu. Kemudian akan kubelah perutnya dengan pisau daging yang ada di meja dapur rumahku, dan kutarik keluar ususnya. Lalu kuiisi perutnya dengan bebatuan runcing yang berserakan di pekarangan rumahku. Setelah itu akan kupatahkan lehernya, kuputuskan dari badannya. Dan kepalanya yang sudah terlepas dari tubuhnya itu akan kumasukkan ke dalam perutnya, dan terakhir, kujahit perutnya dengan ususnya yang panjang dan menjijikkan. Setelah itu akan kubakar dia hidup-hidup!
“Kenapa bukan kucing putih di pinggir jalan tadi saja mengalami nasib seburuk ini?” Nicola duduk di sebelahku dan menghela napas panjang.
Seketika aku teringat satu hal.
Nicola Scarlatti. Dia telah mencelakakan kucing putih itu, bahkan hingga tewas. Seketika aku mendapat satu titik terang dalam permasalahan ini.
“Ini semua gara-gara kau!” kucengkeram kerah baju Nicola. Gadis itu menjerit keras.
“Elberta! Apa-apaan kau?! Apa maksudmu?!”
“Kalau saja tadi kau tak menendang kucing putih itu hingga tewas, pasti sekarang Episch masih hidup!”
“El-Elbert… Elbertaaa…” kali ini kucekik lehernya.
“Semua ini gara-gara kau, Nic! Kau teman yang jahat!”
“Elberta!” gadis itu menarik tanganku dan mendorongku, sehingga aku jatuh terduduk ke belakang. “Kalau memang ini tentang kucing putih itu, pasti si pembunuh Episch sudah menghabisi nyawaku! Bukan kucingmu!”
“Itu karena kau tak punya kucing, dan si pembunuh tahu kau temanku. Karena itulah dia menjadikan Episch sebagai sasaran utamanya!”
“Kau menceracau banyak sekali, Elberta! Dengar, ini sama sekali tidak ada hubungannya denganku!”
“Bangsat kau, Nic! Tega sekali kau membuat hidupku menjadi sekacau ini!”
“Apa… Apa yang telah kulakukan?! Aku tidak…”
“Hahhh!! Persetan! Mulai sekarang kita tidak akan berteman lagi!”
Dan aku pergi meninggalkan rumah Nicola dengan berurai airmata.
Aku berjalan semakin menjauh dan bersumpah takkan pernah lagi menginjakkan kakiku di rumahnya.
“El-Elbert… Elbert-a… Elbertaaaa, tolong a-akuu… Aaaaaaaaaarrghh!” aku mendengar erangan Nicola dari jauh.
Aku benar-benar tidak peduli dan tidak percaya lagi padanya. Teriakan pilu itu pasti hanya akal-akalannya agar aku kembali padanya.
Aku melanjutkan perjalanan pulang ke rumah.
KAMU SEDANG MEMBACA
He'd Never Stop! (Devil 1)
Mystery / Thriller"Urusan kita belum selesai." Suaranya dingin dan dalam. Lebih menyerupai desisan yang halus dan menusuk.