BARA bekerja di biro ayahnya sebagai arsitek. Dari dulu dia memang suka menggambar. Bukan hanya menggambar bangunan yang butuh penggaris untuk membuat garis lurus, dia juga mahir membuat gambar sketsa wajah, bahkan manga. Ana punya beberapa sketsa wajahnya yang digambar Bara. Gambar yang kemudian dibingkai dan dipajang di kamarnya.
Aku tentu saja juga pernah punya keinginan untuk digambar oleh Bara. Ingin tahu seperti apa dia menangkap ekspresiku. Tapi aku tidak pernah memintanya. Setelah terbiasa melihat raut Ana yang cantik, ceria, dan penuh senyum, aku yakin dia pasti tertekan melihat air mukaku yang datar, dan tampang biasa-biasaku kerap ditumbuhi jerawat ketika hormon sedang mengambil alih hidupku. Bukan pemandangan indah. Mungkin karena itulah aku tidak pernah memintanya. Aku tidak mau dia membandingkan aku dengan Ana melalui goresan tangannya.
Aku suka melihat Bara ketika sedang menggambar. Tunduk dan berkonsentrasi di depan meja gambar membuatnya terlihat berkharisma. Seolah dia memang terlahir untuk melakukan pekerjaannya. Kadang, ketika mengantarkan minuman atau camilan di salah satu ruangan paling besar di rumah kami yang sudah disulap menjadi studionya, aku tidak langsung keluar. Aku menarik kursi dan duduk di dekat jendela besar yang ada di situ dan mengawasinya. Aku berusaha diam dan tak mengeluarkan suara apa pun supaya tidak mengganggu konsentrasinya. Karena ketika dia menyadari kehadiranku, biasanya dia tampak sedikit terkejut, sebelum tersenyum dan mengulurkan tangan memintaku mendekat. Dia akan mendudukkanku di pangkuannya dan menceritakan sekilas apa yang sedang dikerjakannya. Sekilas, karena kemudian kami akan berpindah ke matras yang ada di situ untuk menyelesaikan apa yang sulit kami lakukan di atas kursi.
"Kerjaannya bisa menunggu, Sayang," katanya ketika kuingatkan. "Kalau ini, kebutuhan." Ya, hubungan kami seperti itu di awal pernikahan.
Jadi, tidak salah kan kalau aku lalu punya harapan besar pada pernikahan kami? Bahwa dia akhirnya akan mencintaiku karena terbiasa berada di sisiku. Bahwa akhirnya aku berhasil menyisihkan Ana sebagai penguasa hatinya.
Tapi ternyata Bara memisahkan antara kedekatan fisik dan cinta. Laki-laki memang luar biasa. Testosteron mereka bekerja baik tanpa harus melibatkan perasaan. Bercinta tidak lebih dari sekadar aktivitas fisik. Pelepasan ketegangan. Mungkin karena itulah bisnis prostitusi tidak akan punah dari muka bumi. Banyak lelaki butuh mengeluarkan sperma dengan cara paling primitif tanpa harus memikirkan soal ikatan dan drama yang melibatkan cinta.
Aku mendesah. Aku sekarang berada di studio Bara. Aku tidak tahu apa yang membawaku ke sini setelah lama tidak pernah memasukinya. Mungkin karena ada banyak kenangan indah yang melibatkan aktivitas fisik kami di sini.
Tadi aku melihat Mbok Asih membuka ruangan ini dengan sapu di tangan. Aku lalu meminta sapu itu untuk membersihkannya sendiri. Si pemilik studio sedang tidak ada di rumah. Dia ke Bandung untuk suatu proyek. Semalam dia menungguku pulang untuk memberitahukan hal itu. Dia berangkat tadi pagi dan akan pulang besok.
"Mas Bara sering tidur di sini, Mbak." Mbok Asih tiba-tiba sudah muncul dari belakangku. Di tangannya ada cairan pembersih kaca. Dia sudah terbiasa dengan panggilan Mas dan Mbak untuk kami karena sudah menggunakannya sejak dulu.
Mbok Asih tidak buta dan tuli. Dia tahu ada yang salah di antara aku dan Bara. Sudah lama sejak terakhir kali dia menjatuhkan barang-barang karena terkejut oleh live show spontan yang aku dan Bara lakukan di ruang tengah. Aku mensyukuri kemampuannya menutup mulut sehingga kondisi kami tidak sampai di telinga Mama.
"Bara lagi banyak kerjaan." Itu tanggapaan yang buruk, aku tahu.
"Mbak Sofi juga sibuk, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Janji yang Retak (Terbit)
Romance(SUDAH DITERBITKAN) Kupikir menikah dengannya adalah awal dari sebuah kisah bahagia. Bayangkan, aku akhirnya memiliki seorang pria yang sudah kucintai sejak umur belasan tahun, sejak hormon kewanitaan mulai menyusahkan hidupku. Tapi ternyata aku...