Dua

35.9K 3.1K 51
                                    

PERNIKAHAN kami seperti mengawinkan dua keluarga kecil. Keluargaku dan Bara. Hubungan orangtua kami sangat dekat. Terutama ibu kami. Ketika dulu Bara dan Ana memutuskan berpisah, mereka sangat sedih. Dengan sengaja Mama terus-menerus menanyakan bagaimana hubunganku dengan Gian, setengah membujuk supaya aku bisa menggantikan Ana sebagai perekat kedua keluarga.

Gian adalah kakak Bara. Sama seperti aku yang memiliki Ana sebagai kakak, Bara juga hanya punya satu saudara, Gian. Sama seperti aku dan Ana, Bara dan Gian juga berbeda kepribadian. Persamaan mereka hanya satu, tampang yang enak dilihat. Yang akan membuat orang yang menatapnya akan menghabiskan waktu lebih lama sebelum memalingkan wajah.

Gian itu, bagaimana mengatakannya, ya? Dia orang paling keren yang pernah kukenal. Umurnya lima tahun lebih tua dariku. Dia satu-satunya orang yang menyadari keberadaanku di keramaian. Ketika keluarga kami mengadakan jamuan dan aku terlihat bosan, dia akan menarik dan mengajakku ke rumah pohonnya. Duduk di sana berdua sambil mengobrol atau membaca sampai ketiduran dan orang-orang rumah datang untuk membangunkan kami.

Gian tidak seperti Bara yang rajin belajar dan tidak pernah membuat masalah di sekolah. Aku kadang-kadang harus mengompres wajah bengkaknya dengan kantong es karena habis berkelahi. Dia orang yang membuatku tidak terlalu ngeri lagi mendengar kata tawuran atau duel. Jadi ketika tidak bersama Ana atau Sita, aku akan mengekori Gian ke mana-mana. Ikut les gitar dan fotografi, atau mendaki gunung di akhir pekan.

Tapi hubunganku dan Gian tidak seperti hubungan Bara dan Ana yang kemudian berbau asmara. Aku tidak jatuh cinta padanya. Dan Gian dengan senang hati membagikan cerita soal teman-teman kencannya tidak keberatan digilir. Dia memang punya pesona bad boy.

"Aku cerita ini supaya kamu hati-hati sama cowok, Dek," katanya sambil tertawa. "Makin banyak minta dan gombalnya, kadar cintanya makin dipertanyakan. Khusus untuk kamu, cocoknya yang model tenang kayak dia deh." Lalu matanya mengerling ke arah Bara dan Ana yang sedang belajar di gazebo. Kami sedang ngobrol dan main gitar di rumah pohon.

Ayah mereka seorang arsitek dan membangun sebuah rumah pohon di belakang rumah. Di atas sebuah pohon beringin kokoh yang sudah tua. Rumah yang kemudian menjadi sarangku dan Gian, kadang-kadang ditambah Sita. Ana dan Bara lebih suka duduk di gazebo.

Jadi, aku hanya mendelik saat Mama membahas soal Gian padaku. Aku tidak pernah menganggapnnya lebih daripada seorang kakak. Aku tahu dia sampai busuk-busuknya. Dia belajar anatomi tubuh perempuan secara otodidak dari teman-teman kencannya, dan dengan bangga menceritakannya padaku. Bagaimana mungkin aku suka padanya? Aku suka laki-laki yang tenang, pintar, dan fokus pada tujuannya. Bara.

Aku memang mencintai Bara sejak lama tapi tidak serta merta mengiyakan lamarannya yang terkesan asal. Aku memikirkannya. Tentang Ana dan orangtua kami.Tentang bagaimana situasinya akan canggung. Bara dan Ana seperti kembar siam sejak lama. Aku tidak yakin perpisahan beberapa bulan sanggup mengikis sisa cinta mereka. Dan kami keluarga. Bagaimanapun, mereka akan sering bertemu dengan status berbeda. Saudara ipar. Agak aneh, kan?

Tapi Ana kemudian menghubungiku dari Pontianak. Katanya, "Bara bilang dia memintamu untuk menikah dengannya, Sof. Jangan menolaknya karena aku, ya. Kami tidak ada hubungan apa-apa lagi. Tidak lebih daripada sahabat, atau saudara. Sungguh. Kamu boleh menolaknya kalau kamu memang tidak mau menikah dengannya. Tapi pastikan bukan karena memikirkan aku. Sebelum berpisah, hubungan kami sudah lama sekali berubah. Kami hanya baru menemukan menemukan keberanian untuk mengatakannya pada keluarga yang sudah berharap banyak pada hubungan itu."

Dan karena itulah, aku mengambil keputusan bodoh dan menerima lamaran Bara. Karena kupikir kesempatanku mendapatkan hatinya sudah tiba.

Janji yang Retak (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang