Sembilan

46.7K 3.2K 57
                                    

fast up date untuk keperluan kuis. Typo-nya pasti masih ada, tapi semoga dapat dinikmati. Selamat membaca

**

Sita sedang menyuap bakso jamurnya sambil bercerita tentang bosnya yang masih menyebalkan ketika Bara muncul dari balik pintu ruang kerjaku tanpa mengetuk. Dia tersenyum sambil melambai pada Sita dan mengarahkan kaki ke arahku. Tangannya meraih pinggang dan mencium puncak kepalaku.

"Ada apa?" tanyaku sambil melotot pada Sita yang mengedip genit. Tidak biasanya Bara muncul di waktu seperti ini.

"Aku baru selesai meeting dengan klien di dekat sini," jawab Bara. "Sekarang jam makan siang. Kamu bisa memberiku sesuatu untuk mengisi perut, kan?"

Alisku berkerut. "Kamu mau makan di sini?" Dulu, Bara selalu mengatakan bahwa menu yang restoranku siapkan tidak ditujukan untuk orang sehat. Karena orang sehat menggunakan minyak, santan, dan berbagai macam krim untuk mengolah makanan. Bahwa aku menipu orang dengan membuat sate dari gluten atau bakso dari jamur. Dia bercanda, tentu saja. Dan aku biasanya hanya menertawakannya, karena walaupun protes, dia akan menghabiskan makanan yang aku sajikan. Tapi dia hampir tidak pernah datang di jam makan siang di restoran, apalagi untuk minta makan. Selain kantornya jauh, aku curiga dia memuaskan keinginannya untuk menyantap burger, pizza dengan topping daging, atau ayam dan kentang goreng di waktu itu. Jenis hidangan yang hanya kubolehkan sesekali dia pesan jika kami makan bersama.

"Kamu yakin kita tidak akan mengembik bila terus makan ini, Sayang?" ulangnya berulang kali saat aku memaksanya menghabiskan salad sayurnya.

"Kamu mau makan siang atau makan Sofi?" suara Sita membuyarkan lamunanku. "Kalau mau makan siang benaran, kita bisa makan bersama. Tapi kalau kalian mau saling memakan, aku akan mengangkat mangkokku keluar sekarang."

Aku mendelik menatap Sita yang pura-pura polos. "Kenapa kamu tidak makan saja?"

"Sof, kalau suamimu benar-benar lapar, dia akan segera duduk dan menanti makanannya diantarkan, bukannya memeluk pinggangmu seolah takut aku akan menculikmu. Maaf saja, kisah cintaku memang menyedihkan, tapi aku tetap saja pemuja batangan."

Mulut gadis itu memang butuh disikat memakai deterjen yang banyak. Seandainya aku memiliki beberapa tetes saja dari kemampuannya bercanda dan mencairkan suasana. Sebelum aku dan Bara menikah, Sita tidak pernah bersikap seperti ini. Dia menyesuaikan diri dengan Bara yang tidak banyak bicara pada orang yang tidak dikenalnya dengan baik. Tapi semenjak kami menikah, mereka kembali saling menyesuaikan diri dan menjadi lebih dekat. Mereka melakukannya untukku. Tak seperti hubunganku dengan Bara yang kemudian mendingin, mereka tidak berubah. Sita pura-pura tak tahu masalah kami dan Bara bersikap seolah tak ada yang berubah dari hubungan kami.

Bara melepaskan pinggangku dan memilih duduk di kursiku. "Aku benar-benar lapar," katanya. "Beneran."

Aku mencoba mengusir jengah yang diakibatkan kata-kata Sita. "Mau makan apa?" tanyaku.

"Apa saja." Bara sepertinya memang lapar karena tidak terlalu peduli. Biasanya dia mengajukan syarat bahwa makanan yang kuberikan bila dia makan di restoran adalah makanan yang tidak akan membuatnya berubah menjadi makhluk herbivora.

"Kami punya fettucini jamur hari ini," aku menawarkan. "Aku akan meminta mereka menambahkan ayam suwir tanpa kulit untukmu. Mau?"

Bara mengangguk dan aku lalu keluar ruangan untuk memesan makanan untuknya.

"Aku akan kembali ke kantor," ujar Sita ketika aku kembali ke ruang kerjaku. Dia mencangklongkan tas di pundak dan mengangkat mangkoknya. "Kalian pasti lebih suka ditinggal berdua. Yakinkan pintunya terkunci jika kalian akan melakukan aktivitas lain yang tidak ada hubungannya dengan makan."

Dia benar-benar minta digetok sepatu. "Kamu memang harus pergi sebelum aku kehilangan kesabaran dan melemparmu dengan sesuatu," kataku sebal.

Sita meringis melihat Bara. "Kamu harus lebih sering mengelus-elus dia, Bar. Kelakuannya mengerikan saat suasana hatinya memburuk."

Enak saja, memangnya aku kucing sampai harus dielus-elus. "Keluar sekarang sebelum aku benar-benar mencakarmu!" Aku melengkungkan kedua tangan padanya.

Sita tergelak mengejek. "Ala, cakarmu hanya tajam padaku. Dielus-elus Bara sedikit langsung saja melempem seperti kucing disiram air." Sita melambai. "Jangan lupa, yakinkan pintunya terkunci, ya!" Dan dia bergegas pergi sebelum aku sempat menjawab.

"Bosnya berhasil membuatnya gila," kataku pada Bara.

Hubungan kami beberapa hari terakhir membaik. Bara sudah kembali tidur di kamarku. Dia juga telah memindahkan peralatan mandinya. Juga beberapa pakaiannya kembali tergantung di lemariku. Aku membiarkannya dan tidak membahasnya. Pura-pura bodoh.

Keberadaan Bara di kamarku gampang terlihat. Buku-buku yang kubaca tidak lagi berhamburan. Handuk di kamar madi tergantung simetris. Demikian juga peralatan mandi dan meja riasku. Semua tampak apik. Dia memang selalu rapi dan terorganisir. Berbeda denganku yang hanya akan merapikan bila mood-ku sedang bagus.

"Dia tidak sungguh-sungguh menganjurkan kita melakukan 'itu' di sini, kan?" Bara tersenyum melihatku. "Tapi sofanya lumayan."

Aku ternganga menatapnya. "Kamu ketularan gilanya Sita? Aku baru tahu kalau penyakit kejiwaan menular." Bara terdengar seperti dirinya saat hubungan kami baik. Jujur saja, kemajuan kami yang pesat beberapa hari terakhir lebih karena usahanya. Aku hanya membuka jalan dengan mengajaknya nonton beberapa hari lalu. Setelah itu dia mengambil inisiatif dengan mulai menghubungiku beberapa kali sehari, bukan lagi hanya ketika aku terlambat pulang saat tengah malam seperti biasanya. Juga tawaran mengantar dan menjemput. Yang itu kutolak karena aku tidak mau dia berangkat terlalu pagi hanya untuk mengantarku sementara jam kerjanya fleksibel. Dia terkadang mengerjakan gambarnya di rumah dan ke kantor menjelang siang, atau malah langsung bertemu klien di luar kantor.

"Aku tidak pernah memikirkannya sebelum ini, tapi itu bukan ide buruk." Bara meraih pinggangku, membuat kami berdiri berhadapan dan saling menempel.

Gugup, aku meletakkan telapak tangan di dahinya, pura-pura mengecek suhu tubuhnya. "Kamu baik-baik saja? Tidak terbentur sesuatu sehingga jadi aneh begini?"

"Aku baik-baik saja selama kamu baik-baik saja." Bara melepaskan tanganku dari dahinya, membawanya ke belakang punggungku dan menahannya di sana. "Kamu membawa lipstick di tasmu?"

"Apa?" keningku berkerut dengan pertanyaan tidak lazim itu.

"Karena kamu akan membutuhkan setelah ini." Tanpa aba-aba dia menciumku. Awalnya perlahan, di sudut bibir, kemudian turun di bibir bawahku. Setelah itu intensitasnya meningkat dengan cepat setelah aku ikut membuka mulut, membalas ciumannya.

Pintunya diketuk saat kami masih saling memagut. Pasti pegawaiku yang datang mengantar makanan. "Kamu tidak bisa menyuruhnya kembali saja nanti?" bisik Bara di telingaku.

Aku menyembunyikan wajah di dadanya sambil menggeleng. "Tidak ada yang suka makan fettucini dingin."

"Aku tidak keberatan."

Aku melepaskan diri dari pelukan Bara. "Aku harus membuka pintunya sekarang." Aku tidak ingin digosipkan pegawaiku karena tidak membuka pintu padahal sudah memesan makanan saat suamiku datang ke kantor.

Bara melepaskanku dengan enggan. Aku lalu mengambil fettucini dari pegawaiku yang menunggu di depan pintu. "Makanlah." Aku meletakkan piring itu di depan Bara yang sudah duduk di sofa.

"Kita tidak bisa pulang saja sekarang?"

Sekarang masih siang. "Kamu tidak enak badan?" tanyaku khawatir. Suhu tubuhnya sepertinya normal saat aku memegang dahinya tadi. Tapi bisa saja dia pusing dan bukannya demam. "Bukannya tadi kamu bilang lapar?"

"Sita benar, aku lebih suka makan kamu daripada fettucini ini. Tapi aku tidak sungguh-sungguh ingin melakukannya di sini. Ruanganmu tidak kedap suara, kan?"

Astaga, aku benar-benar mendapatkan Bara-ku kembali. Lengkap dengan kemesumannya!

Janji yang Retak (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang