Bagian yang ini belum disunting dengan baik, jadi typo yang terkutuk pasti bertebaran. Tolong bantu perbaiki, ya. Happy reading!
**
Meskipun tahu hubunganku dengan Bara tidak punya masa depan gemilang dan menjanjikan kebahagiaan, harapanku untuk mendapatkan anak dari hubungan kami yang tidak jelas itu tetap besar. Aku suka anak-anak. Dan karena dia yang berstatus sebagai suamiku, impian itu jelas hanya bisa diwujudkan olehnya.
Tidak, aku tidak butuh anak untuk menyatukan hubungan kami yang retak. Aku membutuhkannya untuk diriku sendiri. Sesosok makhluk mungil yang akan memberiku alasan tetap tersenyum menjalani hari meskipun Bara sudah tidak ada di antara kami. Seseorang yang bisa kusebut sebagai milikku seutuhnya tanpa merasa ragu dia akan menolakku. Seseorang yang akan menjadi tempatku menumpahkan semua persediaan kasih sayang yang kupunyai. Seseorang yang akan balik mencintaiku sebesar aku menyayanginya.
Jadi, ketika aku ke kamar mandi dan mendapati haidku hadir sesuai jadwal setelah kejadian di rumah Bara, aku sedikit kecewa. Baiklah, sangat kecewa. Aku tidak mungkin kan menemui Bara dan mengatakan, "Tolong terus bercinta denganku sampai aku hamil. Jangan salah paham, aku bukan ingin memilikimu. Aku hanya butuh donor sperma. Setelah itu kamu boleh kembali pada Ana."
Bagaimana jika Bara menatapku dengan aneh dan mengatakan, "Sperma? Aku bisa mengeluarkannya di kamar mandi dan kamu bisa mempertemukannya dengan sel telurmu di tabung kaca, kan?" atau, "Kamu yakin itu bukan hanya akal-akalanmu untuk tidur denganku?"
Aku lebih memilih melempar diri dari Monas seperti janji para politikus itu. Mati pasti lebih menyenangkan daripada menanggung malu seperti itu.
Oke, itu tadi pengandaian yang berlebihan. Aku kenal Bara dan dia tidak mungkin berkomentar seperti itu. Dia pasti akan mengabulkan permintaanku. Dia juga butuh mengosongkan testis, kan? Tapi aku jelas tidak akan meminta hal seperti itu pada Bara. Kami tidak terlalu banyak bicara lagi, dan aku tidak mungkin tiba-tiba melemparkan diri padanya. Dia pasti mengira aku sudah tidak waras.
AKU hanya sanggup bertahan sampai sore di restoran. Pegal di punggungku sangat mengganggu. Perasaan tidak nyaman seperti ini biasanya terasa sebelum periode menstruasi. Tidak pernah pada hari H seperti sekarang.
Mbok Asih membuatkan wedang jahe meskipun sudah kukatakan tidak yakin minuman itu akan berkhasiat untuk meringankan pegal di punggung. Wanita tua itu tidak ingin dibantah. Dia muncul dengan gelas besar di tangan ketika aku berbaring di sofa sambil nonton televisi.
"Mbak Sofi kecapekkan," katanya sambil mengurut betisku. "Orang capek gampang sakit, Mbak."
Aku tahu. Tapi memuaskan ego dengan membantah Mbok Asih yang terdengar tulus rasanya tidak benar. Aku hanya meringis dan menikmati gerakan tangannya yang lentur di betisku. Aku selalu suka dipijat olehnya. Sudah lama dia tidak memijatku. Terhitung sejak Bara mengambil alih tugas itu ketika aku mengeluh pegal.
"Tanganku jauh lebih kuat dari tangan Mbok Asih, Sayang," katanya waktu itu. "Pijatanku pasti lebih enak."
"Tanganmu tidak bisa dipercaya," sanggahku. "Lebih sering menjauhi tempat yang pegal."
Dan dia akan terbahak dengan mata bersinar. "Itu treatment tambahan, Sayang. Ampuh untuk menghilangkan semua jenis penyakit."
Astaga, aku mengembuskan napas kuat-kuat. Bisa-bisanya aku berpikir tentang hal seperti itu sekarang! Aku benar-benar tidak tertolong lagi.
Aku memejamkan mata, berusaha mengosongkan pikiran, dan akhirnya tertidur. Sudah lama aku tidak tidur di jam seperti ini. Tubuhku rasanya sungguh tidak enak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Janji yang Retak (Terbit)
Romance(SUDAH DITERBITKAN) Kupikir menikah dengannya adalah awal dari sebuah kisah bahagia. Bayangkan, aku akhirnya memiliki seorang pria yang sudah kucintai sejak umur belasan tahun, sejak hormon kewanitaan mulai menyusahkan hidupku. Tapi ternyata aku...