Prolog

72.6K 3.1K 27
                                    

Hai, yup, it's another story. Sedang memindahkan cerita-cerita yang mengendap di leppy ke lapak watty. Cerita ini termasuk cerita yang belum selesai di leppy, jadi bila ada yang menyumbang ide mengenai kelanjutannya, you're so very welcome. Happy reading!

**

KURSI-kursi telah dinaikkan di atas meja. Ruangan tampak rapi dan mengilap di keremangan. Semua lampu di dalam ruangan juga sudah dipadamkan. Bahkan lampu yang ada di ruanganku. Jadi, aku sekarang duduk dipeluk kegelapan. Hanya ada sedikit penerangan yang berasal dari lampu di teras restoran. Aku tinggal sendiri. Pegawaiku yang terakhir, yang biasanya mengunci pintu, sudah pergi sejak dua jam lalu.

Di saat seperti ini, waktu 24 jam terasa singkat. Mengapa harus ada malam? Bukankah akan lebih menyenangkan bila kita hanya berurusan dengan sinar matahari? Tidak perlu rembulan yang menyuruh kita pulang.

Pulang, aku tidak suka kata itu akhir-akhir ini. Karena aku tahu apa yang kutemui di tempatku pulang -yang orang-orang sebut rumah- tidak akan menyenangkan. Keheningan yang kutemui di sana jauh lebih menyiksa daripada duduk terpekur di sini sendiri sambil menghitung helaan napas. Tapi aku juga tidak bisa tinggal di sini. Karena satu jam dari sekarang bila aku belum sampai di rumah, aku akan menerima telepon dan harus memberi penjelasan tentang keberadaanku. Aku tidak suka melakukannya.

Aneh bagaimana satu keputusan kecil yang diambil di masa lalu bisa membuat napasku bahkan sesak di masa sekarang. Tapi tidak ada gunanya mengkhayalkan penyesalan karena tidak pernah ada penghapus yang bisa dipakai untuk mengoreksi keputusan di masa lalu.

Aku memang bukan pemikir. Bukan seorang yang punya rencana matang dan terukur untuk semua hal yang kulakukan. Hampir semua keputusan yang kubuat dalam hidup lebih mengikuti kata hati ketimbang logika. Dan sejauh yang kuingat, tidak ada keputusan-keputusan yang pernah kubuat di masa lalu yang meninggalkan penyesalan dan membuatku selalu memikirkan kata 'andai'. Kecuali keputusan yang satu itu. Dan sayangnya, itu keputusan paling besar yang pernah kuambil. Keputusan yang tidak seharusnya impulsif.

Ponselku berdering dan aku meraihnya dengan malas. Aku sudah tahu siapa yang menghubungiku. Aku lebih tertarik pada angka yang menunjukkan waktu ketimbang nama yang tertera pada layar. Pukul 23.30. Biasanya dia tidak pernah menghubungiku sebelum tepat tengah malam.

"Lagi di jalan," jawabku setelah mendengarkan beberapa saat pada suara di seberang sana. Dia tidak akan tahu aku berbohong. Dia hanya butuh meyakinkan dirinya sendiri bahwa aku tetap akan pulang.

Aku mendengarkan lagi sebelum menggumankan kata-kata yang aku sendiri tidak paham maksudnya. Lalu buru-buru memutus hubungan. Aku meraih tas dan melemparkan ponselku ke dalamnya begitu saja. Saatnya untuk kembali menghadapi realitas duniaku yang sedingin dan sekelam malam. Tanpa sadar aku tersenyum miris.

Orang yang baru menelepon tadi, laki-laki itu, adalah kegagalan terbesarku dalam hidup. Keputusan impulsif yang tidak semestinya kuambil. Keputusan yang menghapus sebagian besar tawa dan senyumku. Bukan berarti aku dulu pribadi periang, hanya saja, aku juga tidak mirip monumen seperti sekarang.

Hanya dengan melihatnya, berdiri di dekatnya, maka aku merasakan dia menjelma menjadi spons dan perlahan menyerap kesenangan yang kumiliki. Cukup dengan cara seperti itu. Dia tidak perlu bersusah payah membuka mulut atau mencemooh untuk membuatku merasa bodoh. Dia seperti lambang yang mengingatkan bahwa aku kadang-kadang memang mengabaikan otak dalam mengambil keputusan.

Janji yang Retak (Terbit) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang