Fiksi Mini - Belaian Bui

724 78 28
                                    

Notes: Depressive content, you've been warned. BGM: The Band Perry - If I Die Young

===

Aku tidak mengerti apa yang salah dengan diriku. Aku hanya merasa sedih. Sedih sekali. Sampai-sampai menduga tidak bisa bahagia lagi. Bermula sejak aku mulai pakai seragam sekolah setiap hari Senin sampai Jumat hingga aku menjadi dewasa tanggung seperti sekarang.

Kata ayah, aku ini terlalu kekanak-kanakkan. Kata ibu, aku tidak boleh mengganggunya. Kataku, mereka sama-sama menginginkan aku enyah. Hei, akhirnya ada satu kecocokan kami: sama-sama berharap aku lenyap.

Kalau dulu aku sempat bercita-cita banyak, entah jadi dokter, pilot, pembawa acara televisi, hingga aktris –meski tampangku buruk—sekarang aku bersikap lebih realistis. Menyempitkan cita-citaku jadi satu, yaitu mati.

Masalahnya, tidak semudah itu merenggut nyawa sendiri. Segala upaya umum tentang bunuh diri buatku merinding; aku benci kesakitan. Aku ingin matiku alami. Seperti tertidur lalu tidak bangun-bangun lagi. Menunggu momentum itu tiba, aku lebih sering keluyuran. Biasanya tengah malam. Aku keluar dari jendela kamar, meloncati pagar, lalu berlari kencang menembus angin. Satpam komplek sering memergokiku, tetapi dia hanya berani memandangku, tidak pernah menegur. Aku menyukainya. Dia punya kesadaran tinggi untuk tidak mencampuri urusan orang lain, kecuali maling.

Kemudian, kupikir-pikir, seharusnya aku seperti Pak Satpam. Bila aku berhenti mencampuri urusan orang lain—membandingkan hidup mereka dengan hidupku sendiri—aku akan bahagia. Kupikir lagi, seharusnya sesederhana itu.

Namun, kenyataannya tidak sesederhana itu.

***

Aku bertemu Kidu dua tahun lalu. Dia bau, jenggotan, dan memiliki teman-teman keren. Membuatku berprasangka aku pun harus bau dan kucel –karena aku tidak bisa menumbuhkan jenggot—untuk mempunyai teman-teman keren. Aku pertama bertemu dia pada salah satu malam keluyuranku. Melihatku yang memasuki bar dengan celingukan seperti orang aneh yang tersesat (dan aku memang kesasar, kukira itu hanya restoran biasa), Kidu lantas mengajakku ngobrol. Sama-sama kumpulannya terbuang, aku menemukan koneksi dengannya.

Sejak itu, kami sering keluyuran bersama. Aku tidak sampai ikut merokok, pakai narkoba, mabuk, dan bercinta dengan orang-orang yang tidak kukenal. Kebanyakan, aku hanya mengamati mereka melakukan hal-hal itu. Kemudian, saat pagi hampir tiba, biasanya kami makin berjingkrak-jingkrak mengikuti irama musik –kadang kami melakukannya di bar atau rumah kontrakan salah satu teman Kidu.

Kidu juga suka menyetir. Mobil pick-up kesayangannya dia pakai untuk mengantar jemput aku. Biasanya aku duduk di sebelahnya, melongokkan kepala ke luar jendela dan membiarkan angin kencang mengacak-acak rambutku. Pada malam-malam yang lebih larut, kutumpangi bak belakang dan merasakan angin yang lebih kencang meniup sekujur tubuhku.

Kidu mengajariku artinya bebas.

Ketika kutanyai Kidu apa yang mendorongnya bebas bertingkah sesuka hati hampir setiap malam begini, dia menjawab, "Bakal ada satu fase di mana hidup bikin kamu merasa kayak tahi. Kamu cuma ingin dibanjur atau digelontor ke lubang pembuangan, sampai hanyut ke laut. Baru setelah kamu lepas, kamu bisa merasa bebas."

"Dan bahagia?" tanyaku lagi.

"Bahagia? Jangan muluk-muluk," ujarnya, sebelum menghisap rokok dalam-dalam.

"Jadi harus bagaimana?"tanyaku lagi.

"Jadi, terima saja."

Aku manggut-manggut. Namun, besok dan seterusnya Kidu tidak pernah datang lagi di tempat-tempat pertemuan kami. Berita yang kuterima, dia ditemukan mampus overdosis di dalam kamar tidurnya.

***

Aku sudah berhenti menulis diari sejak tingkat pertama kuliah, sebab menurutku itu kekanakkan dan ayahku tidak suka hal-hal kurang dewasa. Kucoba mengawetkan memori-memori ketika aku pernah sesedikit mungkin bahagia dalam ingatanku. Aku ingat pernah kabur sangat jauh ke daerah terpencil, di sana kukira akan menemukan kedamaian jiwa. Memang kudapatkan kedamaian, tetapi bukan kebahagiaan. Sesuatu dalam diriku terasa ngilu acap kali kupandangi rumah-rumah sepi dan jalanan kosong. Aku ingat bertemu kenalan-kenalan baru, bertukar kontak, tetapi sekarang mereka tidak pernah membalas pesanku lagi. Aku ingat aku kembali ingin mati sejak mengetahui usaha pelarian diriku pun sia-sia. Kuragukan kebebasan adalah jalan keluar. Perkataan Kidu hanya omong kosong, dan segala usaha mengawetkan memori malah menunjukkan bahwa aku hanya sedang memerangkap lebih banyak kesedihan di dalam diriku.

"Depresi hanya milik orang-orang tidak bertuhan!" Begitu aku mengingat kata-kata yang sering dikemukakan oleh para pemuka agama terpandang. "Kita tidak boleh menghamba dunia!"

Mungkin harusnya aku percaya mereka, tetapi tidak ada dorongan bagiku untuk melakukannya. Sulit bagiku untuk memercayai siapa pun sebab semua yang kupercaya telah mengkhianatiku. Keluargaku berhenti mengajakku bicara. Teman-teman mengunggah foto yang tidak lagi mengikutsertakan aku. Kucing yang kusayangi mati sewaktu aku berusia empat belas tahun, mungkin seharusnya waktu itu aku ikut mampus bersamanya.

Setiap hari aku terbangun dengan mata sembab. Matahari tidak lagi tampak terang. Bunga tidak lagi wangi. Malam jadi lebih mencekam, tetapi itu satu-satunya waktu di mana aku merasa hidup –ketika tidak ada orang lain yang terjaga.

Lalu, pada suatu malam, kudapati diriku berbicara kepada langit-langit lagi. Aku rindu Kidu. Aku rindu percaya. Aku rindu kebebasan. 

Sampailah aku pada kesimpulan yang kucari selama ini: kebebasan memanglah jalan keluar, hanya saja kamu harus bisa mengetahui jenis yang tepat bagimu dan itu berbeda-beda bagi setiap manusia. Jika hanyut di laut bukanlah jalan keluarku, aku perlu mencari media lain. Bila bukan berenang, aku harus terbang.

Malam itu juga, aku melompat dari atap gedung berlantai tiga puluh. Akhirnya, lepas  dari belaian bui, aku bisa terbebas.

[]

Lutalica (Cerpen+Puisi)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang