Heart

83 8 0
                                    

(Pov James)

Pagi ini aku bergegas pergi menuju sekolah baruku. Entahlah hanya saja ada sesuatu pada diriku, yang menginginkan aku untuk segera datang ke sekolah, menemui gadis itu. Aku merasa bahwa aku sedikit aneh setelah perkenalan ku dengannya kemarin.

Aku suka cara dia berbicara. Terdengar tak peduli, tapi aku yakin pasti, bahwa dia sebenarnya sangat peduli. Apalagi ketika aku menangkap senyum di wajahnya. Membuat hatiku sedikit menggeliat kesenangan.
.
.
.

Kakiku berjalan cepat menuju kelas yang berada di ujung koridor. Senyumku seketika merekah ketika melihat dia sudah duduk di kursinya, dan tengah sibuk dengan buku yang sedang dibacanya.

"Selamat pagi," dia menolehkan wajahnya, menatapku dengan diamnya. Sampai akhirnya bibir mungil itu terbuka, dan suara itu... aku tersenyum, tanpa alasan.

"Selamat pagi," balasnya.

"Apa yang sedang kau baca?" tanyaku sambil menaruh tas di atas meja, dan mengambil duduk di sampingnya.

"Tidak penting," dia menaruh buku itu ke dalam laci mejanya. Sebelum akhirnya dia berdiri dari duduknya.

"Kau mau kemana?"

"Kantin," jawabnya singkat. Dia berjalan pergi meninggalkan kelas.  Sampai beberapa menit kemudian dia kembali dengan membawa kantung plastik yang tidak aku tahu berisi apa.

Naerng kembali duduk di kursinya. Dia mengeluarkan dua roti dari kantung plastik itu, sebelum akhirnya dia memberikan salah satu roti itu padaku.

"Ini untukmu," dia mendorong roti itu ke arahku.

"Tapi aku sudah sarapan," tangannya berniat mengambil roti itu, tapi dengan sangat cepaf aku mengambil roti itu dan memasukannya ke dalam tas, "Aku akan memakannua nanti."

"Terserah kau saja."

(Pov Thanaerng)

Perutku terasa sangat lapar, mungkin karena memang tadi aku tidak sempat memakan sarapanku. Dan lagi, laki-laki itu, James. Dia menggangguku yang tengah membaca novel baru yang kemarin aku beli setelah pulang sekolah.

"Kau mau kemana?" aku heran dengan dia, kenapa dia selalu saja ingin tahu apa yang aku lakukan? Kantin, itulah jawaban yang aku berikan, sebelum aku berjalan pergi meninggalkannya di dalam kelas seorang diri. Karena memang ini masih terlalu pagi.
.
.

Kantin sekolah masih sepi, tak berpenghuni. Hanya penjaga kantin yang ku lihat disana. Aku mengambil satu roti untuk mengganjal perut ku. Tapi tiba2 saja aku teringat  James.

Aku mengambil satu roti lagi, lalu kemudian membayarnya.

Entahlah, aku tidak tahu kenapa aku malah membelikan roti untuk James. Jujur, aku sangat malu ketika aku memberikannya, apalagi ketika dia bilang bahwa dia sudah sarapan. Walau akhirnya dia bilang, akan memakannya nanti.

"Siapa dia?" aku menolehkan kepalaku kearah suara itu, begitu juga dengan James.

"Jayler?" Jayler masuk, dan kenapa dengan wajah itu? Sangat tidak enak untuk dilihat.

"Dia siapa?" matanya menatap ke arahku, dan aku sangat tidak suka itu, karena tatapannya begitu menyebalkan.

"Aku James," ucap James memperkenalkan diri. Tapi bisa aku lihat dengan jelas raut wajah Jayler yang terlihat sangat tak suka. Aku tahu, Jayler memang seperti itu. Sikapnya sangat buruk jika dengan orang baru. Tapi, menurutku itu sangatlah keterlaluan.

James menurunkan tangannya yang tadi dia ulurkan pada Jayler untuk berkenalan. Dia tersenyum canggung, ku tahu pasti dia malu dan kesal.

"Dia James, murid pindahan dari Siam," jelasku.

"Lalu kenapa dia duduk denganmu? Bukankah ini kursiku?" tanyanya dengan suara yang ditekankan. Sangat menyebalkan.

"Karena kau kemarin tidak masuk,"jawabku dengan nada kesal.

"Tapi... hey itu bukan sebuah alasan," ucapnya tak kalah kesal. Benar-benar egois!

"Guru Ihn yang memintanya," kudengar James membuka suara, "Aku bisa mencari tempat lain," ucapnya sambil mengambil tas miliknya yabg dia taruh di atas meja tadi. Bahkan sebelum dia pergi, dia masih sempat tersenyum padaku.

Aku kesal. Sangat kesal. Sikap Jayler begitu menyebalkan. Aku menatap ke arah James yang kini duduk di kursi belakang.

"Apa itu? Kau membeli novel baru lagi?" aku menolehkan wajahku pada Jayler yang kiri mengambil novel yang tadi ku baca dari dalam laci mejaku.

"Kapan kau membelinya?" tanyanya lagi.

"Kemarin," jawabku yang kini mengambil duduk di sampingnya, "Kemarin kau kemana?"

"Ada hal yang harus aku lakukan," ucapnya sambil tersenyum.

"Apa itu?" entah kenapa dari caranya tersenyum membuat rasa penasaranku seketika naik ke permukaan.

"Aku akan menyatakan perasaanku pada Pearwah."

Apa? Dia bilang apa? Menyatakan perasaannya pada Pearwah? Apakah aku salah dengar? Tidak, telingaku tidak bermasalah, jadi mana mungkin aku salah dengar.

"Apa kau mendengarkan ku?" tabyabya membuyarkan lamunanku.

"Ya.. hmm ya haha," aku merasa bahwa saat ini aku sangatlah aneh. Karena dengan bodohnya aku tertawa. Tertawa untuk apa Naerng? Menertawakan dirinya sndiri? Begitu?

Mataku basah, sepertinya aku telah benar-benar siap untuk menangis. Tapi aku tidak mungkin menangis di depannya. Aku mencoba menggerakan mulutku, mencoba untuk bertanya padanya, mencoba untuk bersikap biasa padanya.

"Kenapa secepat ini?" bahkan aku sendiri mendengar suaraku sangat terdengar menyedihkan, "Bukankah baru saja ke...

"Aku sangat menyukainya, jadi aku harus secepatnya memberitahu dia," bahkan Jayler seolah tak memberiku waktu untuk menyelesaikan ucapanku.

.
.
.

Sakit brooo... suka sama temen sendiri.
Next?

Vote dan komennya yah...

LOVE?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang