Keindahan Candi Roro Jonggrang.

1.2K 39 1
                                    

P E R T A M A

    

     TERIAKAN memekikkan telinga yang neneknya lantunkan untuknya ia anggap cuma-cuma. Ia tidak peduli itu, niatnya untuk memijaki anak tangga candi itu sudah sangat besar. Seperti syaitan yang dibelenggu sekian lamanya, sekalinya dibebaskan, maka akan bebas berkeliaran. Tidak mempedulikan perkataan atau larangan apapun. Begitupula dengan pemuda tampan yang berasal dari Daerah Klaten ini. Padahal awal mula niatnya ingin ke Yogyakarta adalah ingin menjenguk nenek-kakeknya yang merindukannya.

     Ia melangkah, meminggul tas ransel yang berisikan penuh makanan ringan yang kemarin malam ia beli sebelum memutuskan untuk pergi ke Yogyakarta. Bagaikan backpacker, ia berjalan kaki menelusuri jalan setapak yang menghubungkannya dengan candi Prambanan yang amat ia nanti-nantikan. Antusiasme-nya ternyata sangat tinggi. Semangatnya membara, seperti tungku api yang baru saja diberi pasokan kobaran api.

     Hari minggu. Padatnya kota Pelajar ini semakin terlihat jelas, membuat kepalanya menggeleng-geleng sendiri dibuatnya.

     "Ternyata, Yogyakarta sekarang mau nyaingin Jakarta. Makin betah, deh kalau gitu tinggal di Klaten." katanya disela-sela perjalanan melelahkannya. Tangannya meraih botol mineral yang ia simpan disamping tas, meneguknya hingga tenggorokkannya basah lalu kembali melanjutkan perjalanannya.

     Satu kilometer lagi. Batinnya.

     "Mas!" langkahnya terhenti mendengar pekikkan yang terdengar tidak jauh dari posisinya. Gibran, ia memutar setengah tubuhnya menghadap belakang, dan menatap gadis berambut panjang dengan wajah ayu itu dengan kernyitan kening tidak paham, "ada apa, mbak?" tanyanya sesopan mungkin.

     Gadis itu tersenyum tipis, berlari kecil menghampiri Gibran yang berdiri dua meter dari posisi berdirinya, "mau kemana?" tanyanya. Gibran semakin dibuat tidak mengerti oleh pertanyaannya, "emang kenapa, ya?"

     "Mas-nya mau ke Prambanan?" Gibran mengangguk kecil, "boleh bareng? Aku mau kesana juga. Nggak ada temen." serasa sedang dijadikan ajang tempat curhat, Gibran segera mengangguk. Ia tidak mau membuang waktunya hanya untuk bertanya lebih lanjut tentang alasan gadis itu mengapa ingin menjadikannya teman dalam perjalanan.

     Langkah keduanya beriringan. Terayun santai tanpa adanya gangguan atau hambatan kecil sedikitpun. Mulut keduanya diam membisu, entah enggan untuk membuka suara atau masih canggung dalam perjalanan tanpa perkenalan ini. Intinya, hanya angin dan padatnya Kota Yogyakarta-lah yang menjadi pengiring langkah kaki mereka menuju candi Prambanan.

     "Mas-nya asli mana?" pertanyaan itu menjadi pembuka. Gibran menarik sudut bibirnya tipis, "aku asli Klaten. Mbak-nya asli mana?" mendapat tanggapan baik dari si narasumber, gadis inipun tersenyum.

     "Aku asli Bantul, Yogyakarta." jawabnya. Senyum tipisnya terlihat manis, seperti sunrise yang biasa Gibran lihat apabila ia melakukan pendakian bersama teman satu angkatannya di SMA dulu.

     Gibran mengangguk. "Namamu siapa?" to the point. Gibran langsung maju seribu langkah ketika kesempatan itu datang. Gibran bukan pemuda yang banyak basa-basi, Gibran juga bukan pemuda yang akan mengajukan pertanyaan spesifik mengenai asal-usul seseorang ketika baru mengenal, dan saat seseorang bertanya mengenai dirinya, maka pada saat itu juga ia akan mengambil seribu langkah. Pertanyaannya kepada gadis ayu ini contohnya.

YogyakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang