Dua hal menyakitkan.

266 14 0
                                    

K E E M P A T


0.1 | Gibran


MAUNYA adalah matanya tidak lagi dapat menyadari hadirnya sosok itu, dalam radius berkilo-kilo meter sekalipun. Sakitnya jatuh dalam dua hal yang secara bersamaan benar-benar membuatnya jengah bukan kepalang. Sosok itu pernah ia akui bahwa sangat berarti, tapi sekiranya, sekarang tidak lagi demikian.

Sepanjang perjalanan menuju sekolah Menengah Atasnya, pikirannya hanya dihantui oleh gadis Bantul itu. Apa kabarnya dan jujur, Gibran amat merindukan senyum manisnya. Ah! Gibran itu pemuda labil. Namun dapat Gibran pastikan, bahwa ia masih menyayangi gadis yang kini duduk dalam areanya.

Senyum itu masih sama setelah dua bulan lamanya tidak lagi Gibran lihat. Senyum manis yang membuat Gibran jatuh untuk pertama kalinya di masa Orientasi Siswa SMP, tepatnya enam tahun yang lalu. Dan inilah yang menjadi kendala untuk Gibran. Melupakan Fila adalah hal tersulit yang ia lakukan. Gibran tidak bisa mengelak, berbohong, atau naif sekalipun.

Yudha-si komika amatir itu tengah menunjukkan bakat yang ia punya kepada kongkonya. Semuanya memperhatikannya dengan seksama, begitupula dengan Gibran. Namun sayangnya, fokus yang Gibran miliki tiba-tiba hilang begitu saja ketika telinganya mendengar tawa hangat yang Fila keluarkan. Terbukti! Semuanya masih sama. Gibran masih menyukai semua yang ada pada diri Fila. Senyumnya, tawa hangatnya, suara lembutnya, wajah manisnya, dan semuanya yang tidak lagi mampu ia deskripsikan.

Jam kantin yang terus berdetak kini mengambil alih perhatian Gibran. Gibran melenguh, ingin membuka mulutnya untuk mengeluarkan suara, namun suara Yudha sudah menyelanya, "Saya Yudha Darmawan. Selamat siang." katanya yang langsung mendapat tepuk tangan serta sorak histeris dari kongkonya.

Gibran mendelik, lalu ikut terbawa suasana. Tepuk tangannya ia persembahkan untuk Yudha. "Tak kasih standing applause kamu, Yudh," Yudha membungkukkan tubuhnya bangga menghadap Gibran, "aku mau ke kantor dulu, ya? Belum ngambil ijazah."

"Mau aku anter nggak, Gib?" tawaran yang gadis mungil itu lontarkan mendapat pekikkan histeris dari kongkonya. Semua mulut rumpi memberikan pendapatnya, dari level terendah hingga tertinggi yang membuat Gibran mendelik sinis.

Gibran menggeleng samar, "nggak usah. Aku bisa sendiri." penolakan sopan yang Gibran hadiahkan untuk tawaran manis Fila mendapat gelengan tidak setuju dari kongkonya. Mulut rumpi itu kembali menyerang Gibran secara sepihak.

"Nggak usah munafik."

"Keburu Fila-nya berubah pikiran.."

"Cepet, Gib. Mubazir kalau ditolak. Nanti pulang-pulang ngadu lagi sama ibu-mu, nangis di pojok'an kamar karena udah nolak tawaran Fila."

"Ah. Lama! Nggak asik kamu, Gib."

Semua pendapat itu Gibran tampung hingga anggukkan kepala menjadi pengkatup mulut aksi demonstrasi yang temannya lakukan secara sepihak. Layaknya buruh yang sudah mendapatkan gaji secara besar-besaran, mereka-si mulut rumpi-kini ber-high five ria dengan celetukkan yang semakin membuat Gibran ingin memuntahkan seluruh makanannya yang baru saja ia telan.

"Ya udah, aku sama Fila mau ke kantor dulu," kata Gibran menghentikan aksi mereka. "Ayo, Fil." ajaknya. Fila mengangguk dan bangkit dari kursinya. Melangkah, mengekor dibelakang tubuh Gibran yang sudah melangkah menjauhi kongkonya.

YogyakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang