Kepingan Rindu.

200 10 0
                                    

K E D E L A P A N

      IMAJI nya semakin berkembang pesat ketika sosok manis itu untuk sementara waktu menghilang, memilih untuk pergi dari rumahnya. Rintihan rindunya tidak lagi tertahankan, tiap bait dari diksinya yang sudah ia lantunkan pada secarik kertas pun tetap tidak bermakna adanya. Lukisan abstrak karyanya pun tertanggal pada ruang kamar. Tidak ada yang dapat memahami lukisannya, karena lukisan itu ada dalam bentuk paling abstrak. Tidak terbaca, oleh siapapun. Mungkin?

     Meringkuk dalam keheningan yang tiada tara rasanya sudah pernah ia lakukan untuk menutup luka dan—sedikitnya—menghilangkan rindu yang ia miliki. Tapi sayangnya, satu opsi yang ia pilih tidak menuai apapun hingga detik ini. Tujuh harinya sudah ia lewati dalam desak rindu yang tak tertahankan. Bergejolak, rindu ini tidak lagi dapat ia bendung sendirian.

     Gibran melirik sekilas kearah kanvas putih yang baru saja Jihan beli tadi siang. Ingin rasanya mencumbu rindu yang ia punya dengan menuangkan imaji abstraknya pada kanvas, sayangnya ia tidak memiliki bakat yang begitu hebat dalam hal ini seperti halnya Bima, saingannya dulu. Decihan untuk kesekian kalinya terdengar. Gibran lelah menghadapi sikap Dania yang entah kenapa semakin membuat Gibran tidak waras menghadapinya.

     Tatapannya kini beralih pada detak jarum jam yang terus berjalan. Apakah puing-puing rindu ini harus juga segera dimusnahkan? Jika bisa melakukannya, maka Gibran sudah memusnahkannya jauh-jauh hari. Atau bahkan sebelum kakinya kembali menginjak Kota Pelajar ini. Naasnya, Gibran belum bisa melakukan hal itu. Rindunya terlalu besar untuk sosok itu hingga berbagai opsi yang Jihan berikan untuknya sama sekali tidak berlaku.

     "Aku minta, terima akuuu.."

     "Terima kamu untuk apa, mas? Jelas-jelas, disana masih ada seseorang yang kamu beri harap."

     "Kalau begitu, aku minta kamu jangan pergi."

     "Untuk itu, maaf.. aku nggak bisa janji. Nggak ada yang tau kedepannya gimana 'kan, mas?"

     Gibran tersenyum hambar. Senyumnya serat akan ketulusan dan kehangatan. "Memang nyatanya, kamu benar-benar pergi. Kapan kamu berniat untuk pulang? Apa aku harus menawarkan banyak kenyamanan supaya kamu kembali?" Gibran mendesah kecil, "jangan buat aku stress gara-gara mikirin kamu doang, Dan.."

     "Apa kamu nggak bisa memaafkan kesalahan aku? Aku nggak pernah main-main soal perasaan. Jangan biarkan perasaan ini begitu berlarut-larut dalam rindu yang kelam. Aku nggak mau lagi yang namanya ngerasain sayang sendirian dan rindu sendirian. Apalagi jatuh sendirian.."

     Gibran bercicit ria. Membiarkan imajinya bergerak-gerak dengan bebasnya dengan langkah jenjangnya yang terayun kearah kanvas, disudut ruang kamar. Gibran meraih satu buah palet beserta kuas. Helaan napas terdengar setelahnya.

     "Jangan biarkan aku jatuh sendirian." katanya ketika satu goresan terlukis diatas kanvas.

     Tangannya kembali bergerak bebas. Mengungkapkan daya imaji gilanya diatas kanvas. Gibran tidak berbakat dalam hal ini, tapi setidaknya kanvas putihlah yang mampu menampung segala rindunya untuk gadis ayu asal Bantul itu.

     "Seolah-olah hanya aku yang salah, ya? Sedangkan kamu gimana, Dan?" Gibran tertawa sendiri, "kamu pikir enak? Ketika semua orang sibuk dengan alam mimpinya, aku cuma sibuk mikirin kamu yang jelas-jelas nggak peduli sama perasaan aku."

YogyakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang