Ingin dan Angan.

152 13 0
                                    

K E S E M B I L A N

Di suatu hari tanpa sengaja kita bertemu
Aku yang pernah terluka kembali mengenal cinta
Hati ini kembali temukan senyum yang hilang
Itu semua karena dia


01.track playlist: Anji - Dia

##

     GUMPALAN awan putih senantisa menghantui tiap jejak tatkala langkah membawa mereka untuk keluar stasiun. Hening tiada arti pun senantiasa melekat pada dua anak manusia yang hingga detik ini memilih bungkam—melakukan aksi tutup mulut sejak setengah jam yang lalu. Keduanya hanya berbicara pada angin yang bergesekkan pada daun menguning, memaksa degup terus melesak menyakiti, pun membiarkan pikiran berkecamuk memberikan hipotesa-hipotesa gila.

     Gibran menoleh ringkas kearah Dania. Selanjutnya, ia meraih earphone serta ponsel pada saku celana. Menyambungkannya dan memutar lagu kesukaannya. Memasabodohkan sosok gadis ayu yang melangkah berdampingan dengannya. Tidak ada lagi yang perlu Gibran pikirkan ketika pada kenyataannya gadis itu memilih bungkam untuk lebih lama lagi.

     “Jika ingin, maka lanjutkan aksimu. Jika tidak, maka segeralah menoleh kearahku. Aku akan menjadi pendengar yang baik.“ kata Gibran dalam batinnya yang terus bergejolak hebat merasakan perasaan menyakitkan seperti ini, lagi.

     Kalut pun bukan pilihan. Tanpa aba-aba, kepala itu segera menoleh tatkala tangan Gibran baru saja memilih satu dari deret lagu yang ia miliki. Sudut bibir itu tertarik kecil, menghasilkan senyum ragu yang berbalutkan luka. Jika begini, siapakah yang patut untuk disebut 'si penyebab luka'? Gibran-kah? Untuk menjadikannya ilusi pun Gibran tak sanggup. Menata harapan yang telah menjadi serpihan tidak lagi bisa ia lakukan untuk kesekian kalinya.

     Dania berdeham sebagai pembuka. Detik berikutnya ia berjinjit, menyamaratakan tinggi tubuhnya dengan Gibran, lalu melepas earphone yang baru saja Gibran sumpal ditelinganya. "Aku nggak suka mas Gibran yang begini. Apa stock topik pembicaraan yang kamu punya udah habis, ya?" Gibran tersenyum ringan tanpa beban. Tangannya melayang dan terhenti dipuncak kepala Dania.

     "Mas cuma mau tau seberapa lama Dania tutup mulut. Sekalipun Dania mau ngelakuin itu lagi, nggak jadi masalah buat aku." Dania merengut, ia mendesah kecewa dan memalingkan wajahnya kearah lain, "kenapa gitu?"

     Gibran kembali mengembangkan senyum. Membiarkan aksen lesung pipi itu menggerayangi wajah manis yang ia miliki. Kakinya pun kembali melangkah diiringi langkah kaki Dania yang tertinggal beberapa sentimeter di belakangnya.

     "Mas Gibran nggak berniat buat Dania jatuh?"

     Gibran menggeleng tegas. "Jatuh dalam hal apa?" tanyanya tatkala langkah mungil itu sudah berhasil mensejajarkan posisi dengannya. Dania melirik kearah atas singkat, lalu tersenyum, "jatuh. Jatuhnya mas Gibran buat seorang gadis gimana, sih?" senyum malu-malu itu tak pelak memaksa sudut bibir Gibran terangkat. Memaksa Gibran mengacak lembut puncak rambutnya.

     "Aku nggak pernah punya niatan sebesar itu, sebenernya. Karena untuk jatuh, nggak membutuhkan cara atau bala bantuan dari manapun. Cukup degup kamu aja yang tau, kamu jatuh untuk aku atau malah sebaliknya." pernyataan yang Gibran lantunkan memaksa mulut Dania bungkam. Jika begitu adanya, yang dirasakannya kini apa namanya? Dania paham betul, bukan perasaan seperti inilah yang ia inginkan. Rasanya.. terlalu sakit untuk dirasakan.

YogyakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang