Malam di Malioboro.

518 19 0
                                    

K E D U A

     BERALASKAN segulung tikar dan ditemani hangatnya soto kuali khas Yogyakarta, senyum tipis keduanya mengembang. Manis, mungkin senyum mereka memang ditakdirkan untuk selalu manis. Tawa dan canda telah mereka habiskan untuk menyusuri tiap-tiap monumen candi beserta perjalanan melelahkan menuju Malioboro. Yogyakarta yang indah, begitupula dengan teman dalam perjalanan yang ia miliki dihari bahagia ini.

     Seruputan teh hangat yang terdengar jelas ditelinganya menjadi fokus matanya. Pemuda tampan, manis nan ramah. Siapa gadis yang telah membuatnya jatuh? Jatuh dalam hal mencintai dan tersakiti dalam waktu yang bersamaan. Kisah cintanya pilu, tragis, sama seperti kisah yang ia miliki. Kebetulankah atau Takdir Tuhan?

     "Capek, ya, mas hari ini? Niatnya mau keliling Prambanan sendiri, eh taunya dapet temen." pertanyaan sekaligus pernyataan yang terlontar dari mulut Dania membuat sudut bibir Gibran kembali terangkat. Tangannya menaruh gelas berisikan air teh itu dengan hati-hati. "Capek banget. Tapi aku seneng bisa kenal kamu, Dan."

     Dania tersenyum dengan gelengan kepala menggemaskannya. Gadis ayu nan polos. "Aku juga seneng bisa kenal mas Gibran." tuturnya. Gibran menangguk, mengacak-acak rambut Dania gemas. "Kamu tuh suka banget nge-blushing. Padahal aku ngomong sesuai fakta." kata Gibran.

     Dania mengalihkan wajahnya kesembarang arah. Rona merah yang menjalari pipinya benar-benar memalukan. Ini sudah yang kesekian kalinya Gibran berkata demikian.

     Gibran tertawa. "Dania. Yogyakarta indah banget, ya?"

     Masih enggan mengalihkan pandangannya kearah Gibran. Dania menanggapinya dengan anggukkan dan dehaman kecil. Benar-benar gadis ayu yang satu ini! Gibran semakin gemas dibuatnya.

     "Apalagi kalau ditemeni sama orang yang nggak kalah in-dah, makin betah aku keliling Yogyakarta. Mau betisku kayak tukang becak sekalipun, tetep aku jabanin," tutur Gibran dengan tawa yang semakin menjadi, "tapi sayangnya.. Ini udah malem. Nggak bisa ngelanjut lagi. Apalagi besok hari senin." eluhnya. Tawanya seketika terhenti diikuti kepala Dania yang menoleh kearahnya.

     "Mas Gibran sekolah?" Gibran menggeleng, "udah selesai urusanku disekolah. Tinggal ngurusin persetujuan dari ibu sama bapakmu aja." kata Gibran. Topik pembicaraan semakin melantur pemuda ini.

     Dania mengernyitkan keningnya tidak mengerti. "Apaan sih mas? Kok nggak jelas?" tanyanya. Gibran tersenyum, matanya menatap lekat-lekat kendaraan yang berlalu lalang melintasi angkringan yang ia dan Dania tongkrongi sejak tadi.

     "Niatku mau bawa kamu ke KUA. Gimana? Kamu setuju, 'kan?"

     Diam. Hening. Deru napas Dania-lah yang menjadi tanggapan atas ucapan Gibran.

     "Gimana? Kamu setuju, 'kan, Dan?" ulang Gibran. Matanya kini ia alihkan pada Dania yang sedang melakukan adegan tarik napas. Tangannya terangkat, mengacak lembut rambut hitam gadis ayu itu, "jangan takut. Aku bercanda, kok. Ya kalik tiba-tiba aku pengen ngajak kamu nikah. Nanti istri karo anakku tak kasih mangan opo? Watu?" mendengar itu, tawa Dania tersirat. Kali ini lebih manis dari sebelumnya. Mungkin karena terpantulnya sinar rembulan kearah gadis ayu itu. Sehingga menjadikan senyumannya lebih manis.

     "Aku nggak takut." ungkap Dania. Tangan mungilnya menyentuh lembut hidung Gibran, "hidung kamu mancung mas." katanya disertai senyum manis itu. Gibran menghela napas panjang. Bulu kuduknya berdiri tatkala gadis ayu itu menyentuh bagian wajahnya. Kenapa efeknya bisa sedahsyat ini?

YogyakartaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang