Ditulis oleh: irohiro22
---
SENJA telah sempurna menjingga. Adzan maghrib mulai dikumandangkan di surau Darussalam--surau satu-satunya kebanggaan kampungku. Seperti biasa, bapak bersiap, peci dikenakannya, sajadah di selempangkannya, senada dengan sarung dan baju koko yang sudah mulai lusuh dengan kancing yang telah usang bekas beberapa kali rajutan. Hanya sandal jepitnya lah yang masih terlihat baru, karena kemarin, hilang ketika tengah menunaikan sholat jumat.
Bapak bukan ustad, beliau tidak senang dipanggil seperti itu. Kegiatannya sehari-hari, selain membuka bengkel reparasi jam tangan adalah menjadi imam masjid dan memimpin tahlil jika ada hajatan. Bapak berperawakan kurus, ubannya telah tumbuh, membuat rambutnya bergradasi hitam putih. Bapak tidak banyak bicara, tidak pandai bergurau, namun selalu tampil apa adanya. Sisa harinya, ketika malam telah larut, ketika ibu, aku, dan adikku bersiap untuk terlelap, bapak habiskan di sudut ruang tamu, duduk termenung dengan secangkir kopi hitam, kopi yang biasa dihadirkan ketika ada acara tahlil, orang-orang di kampungku menyebutnya sebagai kopi tahlil. Entah apa yang dilakukan, seolah bapak tengah merayakan kesunyian hanya dengan Tuhan, dengan kopi sebagai jumputannya.
***"Aisyah," panggil Drea, salah satu sahabat di kampus yang baru kujejaki. Ia mengejar langkahku, berusaha menyeimbanginya. "kamu cepet banget jalannya!" Ia berkeluh.
"Hari ini ada ujian, aku udah telat," kataku seraya mengecek jam tangan.
"Ini data untuk mading kita. Setelah kamu selesai ujian, kita bahas bareng." Drea menyerahkan beberapa lemba kerja untukku.
"Oke, sampai ketemu nanti."
Drea tersenyum, kulihat ia berbelok ke kelasnya. Berkumpul dengan Hanen dan Nayna yang juga merupakan sahabat dalam organisasi yang kita geluti.
Pukul 13.00, selepas sholat dzuhur dan makan siang, aku bergabung dalam sebuah rapat yang dipimpin Drea. Kita membahas tentang rubik yang akan dipajang di mading kampus selama seminggu. Akan ada berbagai cerita, puisi, tips, dan berbagai referensi tempat juga makanan yang berlatar budaya klasik Eropa sebagai temanya.
"Kumpulkan data dari berbagai sumber. Berhati-hatilah dalam penulisannya, terutama untuk Aisyah, yang kebagian penulisan cerita, jangan sampai membosankan," pungkas Drea.Malamnya, aku begadang. Berkali-kali kutulis aksara dalam rangkaian kalimat, namun berkali-kali pula aku menghapusnya. Ngadat. Tidak ada ide sama sekali. Apa yang bisa dibuat dengan cerita berlatar budaya klasik Eropa? Bahkan tempatnya saja aku tidak mengetahuinya. Aku mengela napas. Seperti biasa, kulihat bapak sedang termenung dengan kopi tahlilnya, dalam keremangan di sudut ruang tamu. Aku tidak menghiraukannya.
Malam berikutnya, tugasku bertambah. Menjelang akhir semester, dosen seenaknya saja membebani berbagai macam tugas. Deadline pengumpulan naskah adalah besok. Dan aku belum menulis sama sekali. Seingin apa pun mata memejam, aku tetap tidak bisa mengabaikan tugasku. Menulis adalah jiwa sekaligus nafsu yang dapat membunuhku. Kadang, aku tidak bisa mengendalikannya karena terlalu banyak ide. Kadang, aku dibuat pening karena tidak ada ide sama sekali.
Tapi barangkali, melihat deretan aksara, kalaupun belum terangkai sempurna, membuatku sedikit merasa tenang.Rapat kembali diadakan. Drea menagih satu persatu tugas yang diberikan kepada kami. Hingga tiba giliranku. Beberapa saat Drea membacanya, mencoba mencernanya.
"Matamu berkantung. Kamu terjaga sepanjang malam?" tanya Hanen.
"Iya, tugasku menggunung." Aku menimpali
"Adakalanya memang seperti itu, bersabarlah," timpal Nayna.
"Hanen dan Nayna, silakan keluar. Tinggalkan aku dan Aisyah dulu!" pinta Drea.
Selepas Hanen dan Nayna meninggalkan ruangan. Drea menatapku lekat. Ada segurat kekecewaan yang kutangkap di sana.
"Tulisanmu klise, ada apa?" tanyanya.
"Maaf...." Aku berbisik lirih.
"Tulisanmu kali ini terlalu dibuat-buat. Aku kehilangan dirimu dalam tulisan ini, Aisyah. Ini tentang reputasi kita. Bisa kamu tulis ulang?"
"Maaf, Drea," sesalku seraya mengambil kembali naskah yang kuberikan pada Drea.
Tinggal dua hari lagi sebelum naskah benar-benar dipajang di mading. Tidak ada waktu untuk bersantai lagi. Malamnya, aku kembali terpaku dengan laptopku. Hampir tengah malam. Ibu dan adikku sudah berkelana ke alam mimpinya. Tinggal bapak yang seperti biasa sedang asyik dengan kopi tahlilnya.
Setelah bosan mengetik, aku menghampiri bapak untuk pertama kalinya di tengah malam. Bapak tersenyum, tangannya sibuk menghitung untaian tasbih, beliau berdzikir dalam hatinya.
"Ada apa? Kenapa belum tidur?" tanya bapak. Beliau menghentikan dzikirnya sejenak. Menjumput kopi tahlilnya.
"Ada tugas yang harus dikerjakan, pak. Aisyah nggak dapat ide sama sekali." Aku mulai mengeluh. Bapak beranjak ke dapur. Kemudian menghampiriku dengan segelas kopi hitam yang masih mengepul asapnya, beliau memberikannya untukku.
"Pahit." Aku menyeringai getir setelah menjumputnya sedikit. Bapak hanya terkekeh.
"Kenapa Bapak menyukai kopi seperti ini?" tanyaku kemudian.
"Karena kopi itu jujur, Aisyah. Tidak dibuat-buat. Tidak seperti kopi di kafe yang telah kehilangan dirinya sendiri. Melebur dalam karamel, susu, coklat dan campuran lainnya," jelas bapak.
"Tapi bukankah itu lebih enak, Pak? lebih banyak disukai orang." Aku masih belum mengerti."Jadilah berbeda. Jangan ikut-ikutan orang. Apalagi mereka yang telah ditipu. Mereka merasakan kopi yang manis, padahal yang mereka rasakan adalah gulanya, bukan kopinya.""Jadi, pahit kopi tahlil ini adalah yang paling bapak sukai?" Aku mencicipi kopi itu lagi.
"Yang berkesan dari segelas kopi bukan pahitnya, sayang. Tapi kesederhanaannya."
Aku terdiam sejenak. Berusaha mencerna apa yang bapak bicarakan. Bukan pahitnya, tapi kesederhanaannya. Barangkali itulah prinsip hidup Bapak. Sederhana. Beliau bisa saja membeli baju, sarung dan segala barang keperluan yang baru. Tapi selama itu bisa dipakai, beliau tetap memakainya. Jadilah berbeda, barangkali itulah yang bapak lakukan. Berbeda dengan mereka yang terlelap saat malam, bapak malah terjaga, mendekatkan diri kepada Rabb-nya, mungkin ini yang membuat bapak berperawakan kurus. Jujur dan tidak dibuat-buat. Barangkali inilah baiknya bapak, apa adanya, yang membuatnya begitu disegani dilingkungannya.
Aku beranjak, dengan membawa segelas kopi tahlil yang pahit. Aku mulai melanjutkan tulisanku. Ide-ide setelah berbicara dengan bapak, muncul begitu saja dalam kepala. Satu cerita telah selesai.Lewat kopi tahlil bapak, aku banyak belajar. Sama seperti bapak yang menjalankan tatanan hidup lewat kopi tahlil. Aku juga menerapkannya dalam hal menulis. Yang terbagi dalam empat teguran sakti ala bapak. Sederhana, jadilah berbeda, jujur -maksudnya tidak menciptakan karya dengan merusak karya milik orang lain, dan tidak dibuat-buat. Kesalahan yang kubuat ketika menulis cerita kemarin. Di mana aku terlalu pasrah membuat ceritaku menjadi berlebihan, menghilangkan jati diriku sendiri dalam ceritanya.
***
Esoknya, aku kembali dapat bernapas lega. Ketika Drea menerima naskahku dan setelah membacanya, ia menatapku dengan mata berbinar puas. Kuakui, Drea memiliki mata yang indah, yang di dalamnya selalu tersembunyi hal yang misterius, aku sering menebak-nebak, apa yang akan dia katakan lewat tatapan matanya.
"Siap untuk dipajang. Kamu bekerja dengan baik," puji Drea.
Suatu senja, aku mengajak Drea, Hanen dan Nayna ke rumah. Kuberi mereka masing-masing segelas kopi penuh kejutan, kopi tahlil.
"Pahit." Mereka menyeringai bersamaan. Aku terkekeh.
Aku menceritakan pada mereka perihal kopi tahlil bapak. Di mana yang berkesan darinya, bukan masalah pahit yang biasa orang-orang tangkap saat pertama kali menjumputnya, tapi yang berkesan, adalah kesederhanannya.
Siapa yang menyangka, Bapak yang sering kuanggap aneh melalui ritual sunyinya dengan Tuhan setiap malam, dengan kopi tahlil sebagai jumputannya, telah memberikan empat teguran sakti yang mampu membuat seseorang menjadi terkagum-kagum oleh sosoknya. Ah, bapak. Teruslah hidup seperti itu. Teruslah menyebar kebaikan dengan kesederhanaanmu.Pekalongan, 18 Juni 2016
"Yang berkesan dari segelas kopi bukan pahitnya, sayang. Tapi kesederhanaannya."
^^ Ini dia sahabat saya yang pandai merangkai kata, penggemar Andrea Hirata, jadi jangan heran kalau diksinya kental dan menggemaskan. hihihi

KAMU SEDANG MEMBACA
Sahabat Taat
Espiritual[Semua Usia] - S E L E S A I -Dan sebaik-baiknya sahabat adalah dia yang mengajak kepada ketaatan, dialah sahabat taat. Karena dengannya surga akhirat terasa jauh lebih dekat.- Beberapa kisah ditulis berdasarkan cerita nyata, termasuk karakter penul...