Tiga hari MOS rasa neraka berakhir juga. Kini, Lara menatap puas penampilannya. Tidak ada lagi ikat rambut warna-warni. Tidak ada lagi kalung-kalung aneh di lehernya. Tidak ada lagi kaos kaki belang-belang dan yang pasti, tidak ada lagi penindasan berbalut MOS.
"Laraaaaa." Suara keras itu masuk ke gendang telinga Lara bersama dengan suara pintunya yang di ketuk dengan keras. Saat Lara tidak juga membalas teriakan itu, teriakan itu terdengar lebih nyaring, membuat Lara langsung menutup kedua telinganya.
"Berisik, ih." keluh Lara saat menemukan Kamal sudah ada depan kamarnya. Kamal nyengir dan memerhatikan suasana rumah yang sepi.
"Udah pada berangkat semua." kata Lara, menjawab pertanyaan yang belum terlontar dari mulut Kamal. Mereka berdua pergi ke meja makan dan menyantap nasi goreng yang sudah Disipkan asisten rumah tangga.
Rumah Lara memang selalu sepi, baginya itu salah satu alasan ia tak pernah betah di rumah. Ia lebih memilih menghabiskan harinya di luar. Daripada berteman sepi di rumahnya.
***
Mahesa berjalan di belakang Ciara yang nampak gugup. Jari-jari tangan gadis itu bertaut dan ia bisa tahu kalau gadis itu benar-benar ketakutan. Mereka mempunyai tujuan yang sama, ruang BP. Bagi Mahesa, ini bukan hal baru. Ruang BP bisa di bilang tempat wisata buatnya saking seringnya ia masuk ke sana. Terlalu banyak alasan untuk Mahesa masuk ke ruangan itu. Nilai ulangan yang jelek, sering bolos, telat, dan puluhan peraturan yang mungkin ia langgar.
"Lo masuk ruang BP aja udah kayak mau masuk rumah hantu. Biasa aja kali." kata Mahesa. Mereka sudah berada di depan pintu dan Ciara menoleh ke arah Mahesa yang tampak tenang. Mahesa menekan handle pintu dan langsung masuk, diikuti Ciara di belakangnya.
Ciara tidak pernah masuk ruang BP sebelumnya. Baginya, ruang BP itu sarang penyamun. Tempat anak-anak bermasalah. Wajar kalau ia gugup setengah mati saat mendengar dirinya di panggil ke sini.
Mereka berdua menemukan Bu Yeni yang duduk di belakang meja kayu cokelat yang dilapisi taplak berornamen bunga-bunga. "Duduk." katanya mempersilakan. Ciara tampak cemas, kontras dengan Mahesa yang tampak tenang.
"Kalian tahu kenapa kalian saya panggil ke sini?" Bu Yeni menyandarkan tubuh tambunnya ke kursi dan menatap dua orang di depannya dalam-dalam.
"Nilai saya jelek, saya sering telat, atau peraturan-peraturan lain yang saya langgar." kata Mahesa dengan cuek. Ciara menoleh mendengar keberanian laki-laki di sampingnya. Bu Yeni memajukan tubuhnya. Melipat kedua lengannya di atas meja.
"Kamu kadang pintar ya, Sa." suaranya sarat tekanan. Ia mengambil sebuah map dan mengeluarkan lembar jawaban ulangan yang ternyata milik Mahesa.
"Ini nilai ulangan Fisika kamu. Ibu dengar dari guru-guru, nilau kamu makin nggak keruan" Kertas itu ia taruh di depan murid laki-lakinya. Lembar jawaban dengan nilai tiga yang di tulis begitu besar di pojok sebelah kanan.
"Gimana kamu mau lulus kalau nilai kamu variasinya cuma tiga sama empat." Lanjutnya dengan nada geram. Mahesa tampak berfikir sejenak. Tapi tidak juga mengeluarkan sepatah katapun.
"Biarpun orangtua kamu donator terbesar di sekolah ini. Kami guru-guru nggak bisa meluluskan kamu cuma-cuma." Lanjutnya lagi. Mahesa masih mendengarkannya setengah hati. Seperti biasa, ceramah guru-guru akan masuk kuping kanan dan keluar kuping kiri tanpa meninggalkan bekas sama sekali.
"Ya gimana dong, bu. Itu udah usaha maksimal saya banget." jawabnya dengan nada enteng. Bu Yeni menghela napas lalu membenarkan letak kacamatanya.
"Sudahlah, ibu sudah bosan ceramahin kamu."
"Ya saya sebenernya juga sudah bosan sih diceramahin sama ibu." Suara gebrakan meja langsung terdengar. Membuat Ciara dan Mahesa hampir terlonjak dari kursinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Six Of Alphabeth
Teen FictionAyra: Keluarga adalah segalanya Bara: Nggak usah peduli apa kata orang, pertahankan apa yang perlu di pertahankan Ciara: Jadi juara kelas itu wajib Kamal: Sahabat itu berharga Lara: Cermin itu musuh. Gue benci Mahesa: Bego dikit nggak apa-apa, banya...