Bara tidak punya tujuan lain selain kantin kelas sepuluh. Setelah turun dari lantai tiga, ia menyusuri koridor lantai dua. Tapi, belum sempat ia mencapai kantin, ia berhenti di depan sebuah kelas. Ia mundur untuk melihat ke dalam ruangan yang hanya terisi satu orang itu. Ia tersenyum puas dan masuk ke kelas.
"Jadi lo di sini? Kenapa nggak keluar? Takut ketemu gue." Bara membalik bangku dan duduk di depan gadis itu. Gadis itu menatap Bara dengan wajah bingung.
"Kenapa diam aja? Takut ketemu gue?" Bara memajukan tubuhnya lebih dekat.
"Kakak ada perlu sama saya?" Gadis di depannya bertanya setelah berhasil menempelkan punggungnya di kursi untuk menjauh. Wajahnya sudah memucat karena tatapan tajam laki-laki di depannya.
"Nggak usah sok manis. Kalau udah kayak gini, baru lo takut." Ia menatap gadis di depannya baik-baik.
"Saya nggak ngerti maksud kakak apa." Gadis itu menautkan jari-jarinya yang mulai berkeringat.
"Mau gue ingetin? Atau ingat sendiri." Bara berdiri lalu merampas tas yang ada di belakang tubuh gadis itu.
"Tas saya, mau di apain kak?"
"Kalau lo sudah ingat, lo temuin gue, terus ambil tas ini." Bara menjauh. Membuat gadis itu kebingungan. Bara keluar dari kelas dengan senyum semringah sambil menenteng tas berwarna biru muda itu. Ia mulai berfikir, apa yang ingin ia lakukan dengan tas itu. Agar si pemilik berpikir dua kali untuk berurusan dengannya.
***
Lima menit sebelum bel masuk berbunyi, sebuah suara keluar dari pengeras suara. Bara, berdiri di depan tiang bendera dengan tas yang baru saja ia rampas. Setelah berbicara dengan nada mengancm agar si empunya tas segera mendatanginya, ia menyantelkan satu sisi tas itu ke tali tiang bendera dan dengan santai menggiring tas itu hingga sampai di bagian paling atas tiang bendera. Hampir semua anak memenuhi tepi koridor yang langsung menatap ke lapangan. Orang-orang di lantai bawah juga berkumpul menyaksikan kejadian itu.
Tidak lama, seorang gadis tergopoh-gopoh mendatanginya. Berdiri di depannya dengan napas terengah-engah. "Akhirnya lo datang juga." Kata Bara, ia bertolak pinggang dan berdiri di depan gadis itu.
"Tolong turunin tas saya kak." Kata gadis itu dengan wajah memerah. Karena ia sadar sudah ada puluhan pasang mata yang kini mengatapnya bak seorang artis papan atas.
"Turunin? Lo pikir segampang itu." Bara mengambil toa yang ia taruh di bawah tiang bendera dan mendekatkan ke mulutnya. "Kalau lo mau tas lo balik. Lo berlutut dulu, minta maaf sama gue." Suaranya keluar dari toa dan terdengar hampir ke seluruh penjuru sekolah. Membuat anak-anak yang lain riuh saling bersorak karena mendapat hiburan gratis. Bagi anak kelas sebelas dan dua belas, kejadian ini adalah lumrah. Apalagi pelakunya adalah Bara, si pentolan yang padahal baru kelas sebelas. Si biang kerok sebagian kerusuhan di SMA Pancasila, karena sebagian lagi adalah ulah Mahesa, si pentolan kelas dua belas. Tapi sesuai dengan hukum alam, bahwa tidak ada yang bisa mengalahkan senioritas. Mahesa selalu bisa mengalahkan Bara meskipun laki-laki itu tidak pernah kapok untuk mengulangi perbuatannya.
Wajah gadis itu kontan memucat. Wajahnya yang putih kini sudah serupa kapas. Bara mengambil dagunya untuk melihat ke arahnya. "Pilih berlutut atau gue cium di depan seluruh anak di sekolah ini."
Wajah putih itu kini semerah tomat. Ia menahan degupan jantungnya yang kini serasa ingin loncat dari tempatnya.
"Urusan lo sama gue, bukan sama dia." Suara itu mengalihkan keduanya. Bara menoleh. Ia membeku. Ditatapnya gadis yang kini berdiri tak jauh dari tempatnya. Sekali lagi, bukan hanya Bara yang ternganga, tapi juga semua penonton. Ditatapnya dua gadis itu bergantian.
KAMU SEDANG MEMBACA
Six Of Alphabeth
Novela JuvenilAyra: Keluarga adalah segalanya Bara: Nggak usah peduli apa kata orang, pertahankan apa yang perlu di pertahankan Ciara: Jadi juara kelas itu wajib Kamal: Sahabat itu berharga Lara: Cermin itu musuh. Gue benci Mahesa: Bego dikit nggak apa-apa, banya...