Tanda Dari Sebuah Awal (1)

6.3K 307 56
                                    

"Ve! Velove sayang, bangun nak. Sudah pagi," ucap Mom berusaha membangunkanku yang masih meringkuk dalam pelukan selimut hangat.

"Hmm, iya Mom. Sebentar lagi," jawabku dengan mata yang masih terpejam.

"Tapi, ini sudah jam sepuluh, sayang. Mau berangkat jam berapa kamu?" ucap Mom sekali lagi, membuka selimut yang menutupi seluruh tubuhku.

"Apa? Jam sepuluh? Duh, Mom harusnya bangunkan aku lebih pagi!" teriakku panik.
Aku bangun dan segera melompat  ke kamar mandi di sebelah kamarku. Mom hanya menggeleng melihat kelakuan anak bungsunya.

"Hei! Bukan salah Mom ya. Kamu itu sudah mau kuliah, tapi masih saja tak bisa bangun pagi," teriaknya sambal keluar dari kamar, lalu menuruni tangga menuju dapur di lantai bawah.

Aku tak peduli yang dikatakan Mom, aku harus buru-buru karena menurut Yuucan, kampus Woodstock akan sangat ramai antara pukul sebelas sampai pukul dua. Kalau aku telat, tamat sudah.

Aku harus mengunjungi kampus itu hari ini sebelum aku mengikuti ujiannya minggu depan. Tapi, jika sudah ramai dengan para senior, hmm.. Tak bisa kubayangkan. Aku tak ingin mengambil resiko apapun sebelum aku benar-benar diterima di kampus itu.

"Ve! Sudah siap belum? Pokoknya kamu harus sarapan dulu!" teriak Mom dari dapur.

Oh, sial. Aku sudah pasti akan telat. Aku menuruni tangga menuju dapur secepat kilat, seperti The Flash. "Iya Mom iya! Aku makan di jalan saja ya?" ucapku mengambil roti bakar dengan selai strawbery di atas piring.

"Ambil dua sayang, kamu kan suka makan," ejek Mom.

"Ih Mom, iya deh aku ambil dua. Hehe.." Aku terkekeh, kebetulan aku memang sangat lapar pagi ini.

"Vel! Cepat! Aku bisa telat jika kau makan terus!" teriak Sander dari dalam mobilnya di garasi yang gerbangnya sudah dibuka.

Tin.. Tin..

Ah, berisik sekali sih. Kenapa aku harus dilahirkan untuk menjadi seorang adik dari Sander! Laki-laki berandal yang cukup pintar untuk masuk ke universitas Woodstock. Kenapa aku juga harus ikut-ikutan masuk Woodstock? Argh!
Baiklah, aku menikmati perjalanan menuju Woodstock tadi dengan kakak tercintaku. Kenapa? Karena dia tak mengeluarkan sepatah katapun dari belakang kemudi. Biasanya dia selalu bernyanyi ala-ala rocker.

Saat masuk ke kampus ini aku disambut oleh pintu gerbang berpagar tinggi dan di atasnya terdapat papan melengkung bertulisakan “Woodstock University”. Lalu kami masuk lebih dalam melintasi jalan yang di kanan kirinya terhampar rumput hijau nan rapih seolah di rawat dengan baik seperti lapangan sepak bola.

Gedung kampus terlihat tak jauh dari pintu gerbang tadi. Jaraknya hanya 200 meter. Gedungnya menggunakan desain lama seperti di Harvard. Gedungnya tinggi dan luas seperti istana yang mengelilingi sebuah lapangan luas berumput. Di sana ada banyak mahasiswa yang duduk dan berbaring, ada juga yang hanya lewat dan ada juga kumpulan mahasiswa laki-laki bermain lempar tangkap bola. Di sebrangnya memang ada sebuah gedung terpisah. Gedung itu yang terlihat modern, terlihat minimalis dengan dinding kaca yang besar. Namun ada tanaman rambat yang menempel di setiap dindingnya dengan rapih.

“Hei, itu gedung apa?” tanyaku pada Sander saat mobil berhenti tepat di parkiran dalam kampus, tepatnya di sebelah gedung utama.

DRAKEN [Telah Terbit]✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang