Part 1

242 15 9
                                    

Laki-laki itu mengeluarkan silet tajam dari balik saku celananya. Dengan langkah mantap ia berjalan mendekati seorang gadis remaja yang tubuhnya terikat di atas ranjang beralaskan sprei berwarna putih itu.

"Halo, Steffy. Aku harap kau tidak bosan menungguku selama... 2 jam mungkin?" Ia terkekeh pelan, lalu duduk di sebelah Steffy. "Aku ingin memermak wajahmu agar kau terlihat lebih cantik, aku yakin kau pasti akan menyukainya."

Steffy memberontak, berusaha melepaskan dirinya sekuat tenaga.

"Steffy, tenanglah. Jangan membuat hal mudah ini berubah menjadi sulit," kata laki-laki itu seraya menempelkan ujung silet di wajah mulus Steffy, membuatnya tampak tidak sabaran.

Ia tidak bisa menggambarkan seperti apa hasrat yang tiba-tiba saja mengambil alih tubuhnya, merenggut kewarasannya dalam sekejap.

"Aku bedah wajahmu sekarang ya. Kau tidak butuh obat bius 'kan? Baiklah, aku mulai dari bibirmu terlebih dahulu."

Benda berkilauan di bawah cahaya lampu terang itu perlahan menggores permukaan bibir Steffy. Darah segar mengalir dan bau anyirnya semakin meningkatkan kegilaan laki-laki itu untuk terus melanjutkan percobaannya. Ia mengiris bibir Steffy, dan membiarkan bibir bagian bawahnya tetap terjaga.

"Kau tahu, ternyata tidak perlu menggeser tulang rahang jika kau menginginkan bibir bawahmu lebih maju. Kau dapat memotong bibir atasmu dan masalah terpecahkan," ujarnya tanpa menghentikan gerakan tangannya.

Silet itu beralih ke mata. Ia menancapkannya tepat di kantong mata gadis itu. Jeritan memilukan membahana memenuhi ruangan berskema pucat di atas pucat, menyayat hati siapa saja yang mendengarnya. Kantong matanya terkoyak dan laki-laki itu memotongnya untuk dipamerkan pada Steffy.

"Lihat ini. Kau tampak lebih cantik!" Ia tertawa terbahak-bahak sambil memegangi perutnya. Warna merah terang kini menodai bajunya.

Steffy mengerang, seluruh otot-ototnya melemah dan ia sudah pasrah terhadap keadaan. Laki-laki itu langsung menusuk wajah Steffy secara membabi buta, tidak peduli betapa mengerikannya luka menganga di setiap jengkal bagian wajah Steffy saat ini.

Namun sejurus kemudian, ia berhenti melakukannya. "Astaga! Aku terlanjur menghancurkan wajahmu. Maaf, Steffy, tampaknya aku tidak bisa memperbaiki semuanya." Ia membuang silet itu ke tempat sampah dan beranjak menuju lemari besi di sudut ruangan. Laki-laki itu membalikkan badannya sembari menggenggam sesuatu di tangannya.

Pisau daging. Lebih besar dan lebih tajam dari silet.

Satu tebasan kencang, kepala Steffy menggelinding mengotori lantai kusam yang penuh genangan darah. Kedua tangannya pun bernasib sama, terpisah dari tubuhnya. Ia menyeka cipratan darah yang mengenai pipinya dengan santai, seakan tidak ada kesalahan yang diperbuatnya barusan. Terakhir, laki-laki itu menancapkan pisaunya di dada Steffy, menekan pisaunya kuat-kuat dan membelah seonggok daging itu hingga terbelah menjadi dua.

Ia menghirup aroma amis darah dalam-dalam, merasakan sensasi menggelitik di tenggorokannya. Ia memandangi hasil kerjanya dan bergumam, "Tidak ada yang pantas untuk menyebut dirinya lebih cantik daripada gadisku, tidak seorang pun."

Laki-laki itu mengumpulkan potongan-potongan tubuh tersebut, lalu dilempar ke dalam nyala api di tungku perapian bersama pakaian dan sprei yang terkontaminasi darah Steffy. Selanjutnya, ia meraih bagian sisa yang sengaja ditinggalkannya.

Hati dan jantung, untuk diteliti dan dipelajarinya setelah ini.

*

University of Oxford.

Aku duduk di dekat jendela, menekuri buku tebal tentang virus yang menyerang sistem kekebalan tubuh. Sehabis jam istirahat, ada diskusi antar kelompok yang didampingi oleh dosen pembimbing. Bahasan yang ditentukan adalah bagaimana melawan virus menggunakan antibiotik atau antibodi manusia itu sendiri. Sekali saja kau melewatkan waktu belajarmu, siap-siap saja mati kutu di depan kelas.

"Kuis?" tanya Dani membuyarkan lamunanku.

"Ah, tidak. Diskusi kelompok," jawabku gugup.

Siapa yang tahan berlama-lama bertatap muka dengan laki-laki berwajah tampan bak malaikat ini? Mata cokelat emasnya, hidung mancungnya, dan... nada suaranya yang begitu hangat dan menenangkan. Sungguh, pesona Dani tidak dapat dipandang sebelah mata.

"Semester tiga memang agak berat. Aku sempat berpikir untuk berhenti kuliah dan menikah saja," kelakar Dani.

Seulas senyum tersungging di bibirku. "Jadi alasanmu tidak masuk kelas tadi pagi karena persiapan pernikahanmu?"

"Iya dan tidak. Aku mengurus pernikahan saudaraku. Ngomong-ngomong, apa kau mau tahu sebuah rahasia mengerikan?" Dani bertanya dengan raut muka yang tiba-tiba berubah serius.

Kedua alisku saling bertaut, "Rahasia apa?"

Dani berbisik di telingaku. "Aku tidak pernah berpacaran, dan aku tidak punya calon pengantin perempuan. Itu sangat mengerikan bagiku, tahu?"

Sontak aku tertawa sambil menutup mulutku. Beberapa orang di kantin menoleh ke arahku, kemudian kembali pada kesibukan mereka masing-masing. Dani menunjukkan senyum miringnya, senyum favoritku. Apa hanya aku yang terpukau oleh kharismanya?

"Ehm, aku harus membaca satu bab lagi. Kalau kau tidak keberatan, kita bisa mengobrol di lain waktu. Aku tidak terlalu menguasai materi ini," kataku jujur.

"Nilai sempurna selama dua semester, kau ini salah satu mahasiswa berotak encer yang selalu menduduki peringkat teratas. Dan kau bilang padaku bahwa kau tidak memahami materi tentang virus?" nada suaranya terkesan mengejek.

Aku mengangguk, membenarkan fakta kepintaran yang diturunkan kedua orangtuaku. Keduanya merupakan dokter senior di rumah sakit berskala internasional, yang akhirnya menuntutku untuk mengikuti jejak mereka. Sebenarnya menjadi seorang dokter sama sekali bukan pilihanku. Berkali-kali setelah berdebat sengit dengan Casey, toh aku menuruti kemauannya juga. Membahagiakan orangtua adalah harapan setiap anak, bukan? Namun tetap saja aku perlu belajar.

Ponselku bergetar sekali, tanda jam istirahat sudah selesai. Aku benar-benar melewatkan bab penting yang... semoga saja topik itu tidak masuk dalam bahasan kali ini.

He is a PsychoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang