Prolog

254 14 10
                                    

Aku harus bergerak cepat. Aku harus bisa melepaskan ikatan tali ini dan segera pergi mencari bantuan. Hanya tersisa sedikit waktu sebelum aku akan menghadapi kematianku malam ini, dengan cara yang sama sekali tidak manusiawi.

Ayolah.. Kau bisa, kau pasti bisa...

Sial!

Entah bagaimana caranya dia mengikat kedua tanganku, sekarang simpul talinya mati dan ikatannya semakin mengencang. Aku berusaha untuk tetap tenang, memikirkan jalan keluar lain yang mungkin dapat memberiku secercah keajaiban. Aku tidak bisa berteriak meminta pertolongan karena sumpalan kain ini membungkam mulutku.

Ah! Ponsel di kantong celanaku, yang sengaja kuatur dalam mode hening. Karena larangan bermain ponsel selama jam pelajaran di kampus, aku memang tidak pernah mengganti pengaturannya ke mode dering, dan itu menjadi semacam kebiasaan yang terbawa sampai sekarang.

Susah payah aku mendorong ponselku, menjaganya agar tidak terlempar jauh dari posisi dudukku. Begitu benda pipih itu mendarat mulus di atas lantai kusam yang dingin, aku langsung menggeser layarnya ke samping dan mengetik sebuah pesan singkat.

"1."

Semoga tidak ada gangguan sinyal disini, aku berharap-harap cemas menunggu pesannya terkirim sambil memperhatikan pintu besi yang tertutup rapat di ujung sana. Seolah setiap detik yang bergulir semakin membawaku mendekat pada jurang kematian yang gelap dan penuh penyiksaan. Sungguh aku tidak pernah berpikir akan mengalami hal seperti ini dalam hidupku.

Langkah kaki yang menggema di luar sana mulai terdengar. Halusnya sepatu pantofel itu menyusuri lorong terasa menohok jantungku yang berdegup kencang.

Benarkah aku akan mati di tangannya, secara perlahan dan penuh kesakitan?

Salah satu pintu besi terbuka lebar. Seorang laki-laki yang mengenakan topi berwarna hitam berjalan mendekati meja kayu di tengah-tengah ruangan. Ia meletakkan kantong plastik berisi minuman kaleng dan... sekotak silet serta korek api?

Apa dia berniat mengolah makanan berbekal peralatan seadanya begini? Aku tidak yakin. Atau jangan-jangan, dia berniat mengolahku? Aku bergidik ngeri membayangkannya.

Laki-laki itu menyunggingkan senyumnya, mata tajamnya menatapku dan ia mencengkram tirai di belakang tubuhnya hingga buku-buku jarinya memutih. Ia tampak tidak sabar, tapi juga tidak terburu-buru. Aku berani bertaruh, ia pasti sangat menikmati pemandangan wajahku yang sudah pucat pasi.

Dengan satu gerakan, ia menyentak tirainya dan rahasia kelam yang selama ini tersimpan rapih tersingkap, tanpa tertutup apa pun lagi.

Saat itu juga aku menyadari, isi pikiranku sejak tadi tidak ada yang meleset. Semua tepat seperti apa yang dia rencanakan dan persis seperti apa yang berkelebat di kepalaku.

Perlahan, aku menyelipkan ponsel ke dalam saku jaket yang tergeletak di dekatku. Tadinya ia merobek jaketku untuk mempermudah mengikat kedua tanganku, dan melemparkannya ke lantai begitu saja.

"Maaf, aku tidak bermaksud meninggalkanmu seorang diri. Aku hanya pergi sebentar ke minimarket, dan kini aku sudah kembali 'kan?"

Ia mengelus puncak kepalaku dan melonggarkan sumpalan mulutku.

"Aku merindukan suaramu," katanya seraya mengarahkan tangannya untuk menyisir rambut panjangku. "Kau merindukan suaraku tidak?" tanyanya.

Aku diam tak merespon.

"Kau merindukan suaraku tidak!" bentaknya marah, kemudian menjambak rambutku sekuat tenaga.

Nyaliku ciut seketika.

"Aku... Aku tidak merindukanmu, tidak sama sekali."

Dan sebuah tamparan keras melayang bebas, mengenai pipiku, meninggalkan bekas kemerahan yang tercetak jelas disana.

He is a PsychoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang