Part 3

166 10 6
                                    

"Kau sudah bangun, Maura?" Laki-laki itu berbisik mesra di telinganya.

Maura mengerjapkan matanya ketika merasakan panas di kedua lengannya. Ia bergerak-gerak di kursinya, berusaha melepaskan kawat tajam yang digunakan untuk mengikatnya.

Laki-laki itu tertawa. Ia menaruh wajan berisi minyak sayur di atas kompor yang menyala.

"Kenapa? Kau mau membantuku memasak?" tanyanya seraya menarik paksa tangan kanan Maura.

Darah segar mengalir akibat goresan kawat yang cukup panjang. Maura mengaduh kesakitan, dan laki-laki itu menjambak rambutnya sekuat tenaga.

"Aku tidak suka keributan. Jadi kau jangan berisik ya," kata laki-laki itu.

Ia mencengkram pergelangan tangan Maura dan menuntunnya ke arah penggorengan. Ia mencelupkan jari-jari Maura ke dalam minyak panas, menekannya hingga gadis itu meraung-raung kesakitan.

"Percuma saja kau berteriak, tidak akan ada yang mendengarmu."

Laki-laki itu mengangkat tangan Maura, memperlihatkan kulit tangannya yang melepuh kemerahan, juga mengelupas di beberapa sisi. Ia mengambil alat untuk mengupas buah-buahan, lalu membersihkan sisa kulit yang masih menempel di tangan Maura. Dan bukan kulitnya saja yang terkelupas, tapi dagingnya pun ikut tercabik-cabik.

Air mata membasahi pipi Maura. Seluruh tubuhnya bergetar hebat dan gadis itu memohon-mohon supaya laki-laki itu mau melepaskan sumpalan mulutnya.

"Kau ingin bicara?" Ia memberikan kesempatan bagi Maura untuk menyampaikan isi hatinya. Mungkin gadis itu sudah tahu dimana letak kesalahannya. Laki-laki itu terdiam menatap Maura, tajam dan mengintimidasi.

"Kau gila! Kau benar-benar gila!" teriak Maura sambil meludahi laki-laki itu.

Gila katanya?

"Apa kau bilang? Oh, aku memang tidak waras. Dan itu semua karena perbuatanmu sendiri, Maura!"

Laki-laki itu menampar pipi Maura dengan pisau iris yang digenggamnya, membuat luka robek menganga dari ujung pipi hingga sudut bibirnya. Darah segar kembali mengalir deras.

"Kau pikir aku tidak tahu apa yang hendak kau lakukan? Menyiapkan obat kimia yang bisa membakar telapak tangannya, dan kau berharap kau dapat mengunggulinya?" Ia memegang sebelah tangan Maura yang masih terikat kawat, kemudian menyentaknya keras.

"Jangan harap!" hardiknya sengit sambil menyayat tangan kiri Maura berkali-kali. "Kau tidak akan pernah bisa menyainginya, tidak akan!"

Ia menancapkan pisau iris di tengah telapak tangan Maura, meraih pisau daging kesayangannya di laci dapur dan mulai mencincang tangan Maura. Darah menyiprat dimana-mana, menciptakan genangan merah pekat di lantai kusam yang kasar itu.

Belum puas, laki-laki itu menengadahkan kepala Maura ke atas dan menggorok lehernya sampai putus. Ia menenteng potongan kepala itu dan menggantungnya di dalam sebuah lemari pendingin yang dirancang khusus oleh dirinya sendiri. Sekarang, ada dua kepala yang bertengger disana.

Setelah membereskan daging kenyal yang berceceran, ia membelah perut gadis itu dan mengeluarkan ginjal serta untaian usus-ususnya.

"Jika yang mereka butuhkan adalah pembuktian, maka aku akan menunjukkannya dengan caraku sendiri. Aku tidak sebodoh yang mereka pikirkan," desisnya penuh amarah.

Seperti biasanya, onggokan daging yang tidak terpakai akan berakhir di tungku perapian. Melebur menjadi debu tanpa meninggalkan jejak-jejak kehidupan.

*

Koridor lantai satu tampak lenggang. Beberapa kelas diliburkan karena rapat dosen bulanan yang berlangsung selama tiga hari. Mereka akan membicarakan nilai-nilai akademik para mahasiswa sekaligus mengadakan piknik di kaki gunung.

Harusnya sekarang aku juga bisa bersantai di rumah, menonton film kesukaanku dan mengganti wallpaper lama di kamar tidurku. Namun ujian tengah semester minggu depan memaksaku untuk tetap bekerja keras di saat siswa-siswa lainnya sedang menikmati liburan.

"Darah.. Darah.. Darah..." Aku mencari buku pembagian golongan darah beserta rhesusnya.

"Disini," sebuah tangan terulur mengambil buku yang terletak di rak paling atas.

"Eh, terimakasih."

"Memangnya kau ada kelas hari ini?" tanyanya.

Aku menggeleng. "Tidak, cuma meminjam buku yang mau kupelajari. Kau sendiri?"

"Baru selesai meneliti tentang usus hewan."

Detak jantungku pasti selalu tidak beraturan jika berada di dekatnya. Dani, Dani dan Dani. Sejak aku resmi diterima di kampus ini, aku tidak pernah bisa lepas dari bayang-bayangnya. Hampir tiga tahun berlalu, dan rasa itu tidak pernah berubah sama sekali.

Sedikit fakta yang menyiksaku adalah, Dani hanya menganggapku sebagai adik kelasnya, tidak lebih. Ia sering membantuku, tapi aku tidak berani berharap terlalu tinggi. Aku takut kalau aku akan terhempas begitu jauh.

"Ehm, boleh aku menanyakan sesuatu padamu?" Dani berdeham pelan.

"Aku tidak mengingat adanya larangan untuk bertanya."

Dani menggaruk kepalanya yang tidak gatal. "Apa kau mau lari pagi bersamaku?"

"Hah?" sergahku cepat. Aku tidak salah dengar?

"Besok, sehabis lari pagi, mungkin kau juga mau berkeliling kota. Bagaimana?" Ia menyunggingkan senyum miringnya.

Sial, aku melembek seperti ubur-ubur di tempatku berdiri. Jelas saja aku tidak punya alasan untuk tidak menerima ajakannya.

"Sepertinya menyenangkan," kataku sembari menahan sorak-sorai yang menggebu-gebu dalam hatiku. "Kau jemput aku di rumah ya."

"Berikan alamat rumahmu," Dani menyodorkan ponselnya. Aku menyimpan nomor telepon dan alamat rumahku, lalu mengembalikan ponsel itu padanya.

Kemudian aku beranjak dari perpustakaan dan menerka-nerka apa yang baru saja terjadi. Entah aku harus merasa senang atau aku harus merasa was-was. Karena--sepertinya-- ada sesuatu yang tidak bisa aku jangkau.

He is a PsychoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang