Part 4

366 8 1
                                    

"Kau terlambat," kataku sembari mengencangkan tali sepatu.

Dani mengatur napasnya, lalu menarik handuk kecilnya yang tersampir di pundak dan menyeka keringatnya.

"Maaf, jam di rumahku mati. Aku lupa mengganti baterainya semalam," terselip rasa bersalah dalam nada suaranya.

"Kita akan berlomba," sahutku mengabaikan permintaan maafnya. "Siapa yang pertama tiba di air mancur, dia pemenangnya. Dan peraturannya, karena kau membuatku nyaris menunggu selama setengah jam, kau harus berlari melewati jalan biasa."

Laki-laki itu mengernyitkan alisnya.

"Aku melawan arah dan memutar melewati hutan," tambahku lagi.

"Semudah itu? Kalau aku menang, bagaimana?" Dani bertanya, memasang ancang-ancang untuk melesat cepat.

Aku berpikir sejenak. "Secangkir kopi untuk menemani sarapan pagi ini. Setuju?"

Dani menganggukan kepalanya, tanpa membuang-buang waktu ia langsung memberi aba-aba. Pada hitungan ketiga, aku berlari ke arah Barat sedangkan Dani berlari ke arah Timur.

Medan yang kulalui memang agak sulit, tapi jalan pintasnya dapat memangkas jarak hampir setengahnya. Aku memperhatikan langkah kakiku, memastikan tidak ada batu yang bakal menggulingkanku. Kedua tanganku bergerak bebas menyibak dedaunan lebat yang menghalangi tubuhku.

Ah! Air mancurnya sudah terlihat dari sini. Begitu aku melompati parit kecil di ujung perbatasan, maka aku akan sampai disana lebih dulu. Aku bisa mencapainya dalam lima belas langkah, sebenarnya. Namun kuurungkan niatku untuk bergegas ketika telingaku menangkap bunyi gemerisik di balik pepohonan.

Jangan-jangan, ada orang yang tersesat dan membutuhkan pertolongan. Aku mempertajam pendengaranku. Sepertinya tidak ada teriakkan minta tolong, melainkan... sebuah desahan pelan?

Aku berjingkat-jingkat menuju sumber suara. Rasa penasaranku tidak bisa dihilangkan, aku tahu tidak sopan mengintip mereka yang--bisa saja--sengaja mencari privasi di tempat ini.

Dan dugaanku benar, sepasang remaja seumuranku sedang bercumbu sedemikian panasnya. Darah di bawah kulitku berdesir, mengirimkan sensasi aneh yang membuat tubuhku bergidik.

Oh, tidak. Aku terkesiap. Laki-laki itu menyadari keberadaanku. Bukan, lebih tepatnya, sekarang ia menatap terang-terangan ke arahku.

Matanya... Mata laki-laki itu tampak tidak asing.

"Lari, Adel!" sebagian otakku yang masih bekerja memerintahkan kedua kakiku untuk bergerak.

Baiklah, pilihan yang tepat. Aku harus pergi sebelum ia mendatangiku dan... mungkin akan melakukan sesuatu yang berbahaya padaku.

*

Astaga! Aku lupa mengeluarkan botol infus yang kudinginkan semalam. Sontak aku berlari membuka pintu kulkas dan mengambil botol infusnya. Seharusnya waktu pendinginan cairan ini tidak lama. Aku memasang selang dan peralatan lainnya sambil berjalan kembali menuju kamar tidurku.

Ekor mataku sempat melirik jam kecil yang tergeletak di atas nakas di samping ranjang, dan ternyata jarum panjangnya tidak bergerak sama sekali. Sial! Pantas saja aku bangun kesiangan.

Aku meraih lengan gadis itu, menggulung piyama tangan panjangnya dan mengusapkan alkohol di kulit putihnya yang juga dipenuhi bekas luka. Kemudian aku menusukkan jarum infus tepat di pembuluh darahnya.

Ia terlonjak kaget dan sebelah tangannya berusaha melepaskan benda menyakitkan itu dari tubuhnya. Aku segera menahan tangannya sebelum ia akan menggagalkan eksperimenku.

"Aku tidak sedang melukaimu, sayang. Aku hanya menguji obat penenang dan perangsang ini. Sebentar lagi kau akan merasa lemas, tapi aku pastikan kau tidak akan kehilangan libidomu."

Gadis itu terdiam, ia memandangiku takut-takut. Aku merogoh kantong celanaku dan mengeluarkan silet kecil."Sekaligus mencari tahu apakah satu sayatan di sebelah sini tidak akan membuang banyak darah," ujarku menyentuh bagian tubuhnya yang berlemak.

Perlahan, benda tipis nan tajam itu menembus jaringan luar kulitnya, mengoyak lapisan lemaknya dan warna peraknya berubah menjadi merah terang.

Bersamaan ketika rasa perih mulai menjalari area perutnya dan sesuatu yang melesak masuk ke dalam liang kewanitaannya, ia mengejang dan merintih kesakitan.

Tidak. Ia tidak mampu berteriak. Hanya erangan dari bibir tipisnya yang terdengar. Sepertinya ia ingin melawan, namun seluruh tubuhnya menolak. Hal yang dibutuhkannya saat ini adalah, aku akan memuaskannya sampai efek cairan obat yang kubuat sendiri itu hilang.

Dan aku, dengan senang hati akan melakukannya. Permainan seks yang menggelora dan bau amis darah... Aku benar-benar menyukai perpaduan keduanya.

*

Suasana kedai kopi yang terletak di persimpangan jalan ini tidak terlalu ramai. Aku dan Dani mengambil tempat di ruang terbuka, menikmati pemandangan langit yang agak mendung. Kami saling terdiam sampai Mr. Troy mengantarkan dua piring pancake cokelat dan dua cangkir kopi panas.

"Biar aku yang menraktirmu," ujar Dani sembari menyesap kopinya.

"Jangan coba-coba merendah," sergahku cepat.

"Yah, aku tidak akan merendah seperti ini kalau wajahmu tidak cemberut begitu."

Aku langsung menarik kedua sudut bibirku ke atas, tersenyum lebar dan memamerkan gigi putih bersihku yang berderet rapih.

"Aku tidak sedang merutuki kekalahanku, kok. Karena seharusnya aku bisa menang seandainya tadi... aku tidak melihat sesuatu yang terlarang," kataku jujur.

Sebelah alis tebalnya terangkat, "Sesuatu yang terlarang?" tanya Dani.

"Seks di tengah-tengah hutan," jawabku malu-malu. "Awalnya aku penasaran apakah ada seseorang yang tersesat, atau mungkin terluka. Dan yang tersaji di depan mataku adalah perbuatan tidak senonoh itu."

"Apa menurutmu seks merupakan sesuatu yang tabu?"

Mengapa kita jadi membicarakan tentang seks di pagi yang tenang begini?

"Ehm, bukan. Orangtuaku mendidikku untuk melakukan seks dengan cara yang benar, setelah menikah maksudku. Dan tidak di tempat terbuka meski kau tahu tak ada orang yang memperhatikanmu," jelasku panjang lebar.

"Menikah?" Dani menggumam pelan, tapi telingaku dapat menangkap suaranya.

"Iya. Bagiku menjaga komitmen dalam sebuah pernikahan tidaklah seseram kata orang-orang. Keputusan yang sangat amat benar jika kau menginginkan keluarga yang bahagia--menurutku."

Dani menggigit potongan besar pancake, lalu berujar, "Sayangnya definisiku terkait pernikahan tidak sepertimu."

Kini ganti sebelah alisku yang terangkat. Apa dia hanya berseloroh saja seperti biasanya, atau dia memiliki tujuan lain? Supaya aku tidak menaruh harapan padanya dan menganggap hubungan kami cuma sebatas teman baik saja?

Entahlah. Dani tidak membahasnya lagi dan aku memilih untuk menenggak cangkir kopiku hingga habis tak bersisa. Kemudian aku berjalan ke kasir dan membayar tagihannya pada Mr. Troy.

He is a PsychoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang