Tepat pukul dua siang, akhirnya taxi yang kutumpangi tiba juga di depan rumah putih itu.
Setelah membayar ongkos, aku segera turun dari mobil sedan terbaru berwarna biru yang membawaku selama dua jam perjalanan dari kota Samarinda.
Kupaksa kakiku melangkah cepat menuju pintu samping meskipun barang bawaanku sedikit berat selain tas ransel yang ada dipunggungku.
Tadinya sopir taxi ingin membantuku tetapi aku sengaja melarangnya.
Dadaku berdebar kencang saat membuka gagang pintu dan mendorong pintunya kedalam.
Saat pintu terbuka, sesosok wajah dengan mata bercahaya menatapku gembira. Aku memeluknya lalu mencium tangan kanannya yang terkulai. Setitik airmata kulihat menggenang dipelupuk matanya.
"Embah, sudah makan?" tanyaku sambil mendorong kursi rodanya dari depan pintu samping di dekat dapur.
Aku sudah dapat menduganya sepanjang perjalanan, pasti Embah menungguku dan duduk diam disitu hingga aku tiba. Termasuk menebak pasti dia juga belum makan siang. Untunglah tadi kusempatkan untuk mampir sebentar membeli sayur matang beserta lauk-pauk dan juga nasi di sebuah warung, dekat kost-ku.
Aku meletakkan begitu saja barang bawaanku yang berat di dapur, hasil belanjaanku secepat kilat di sebuah supermarket dekat jembatan Mahakam.
"Embah nonton TV sebentar, ya?" kataku sambil menyalakan tombol tapi hanya tampilan bintik hitam dan putih saja yang memenuhi semua saluran, yang seharusnya ada.
"Kenapa TV-nya, Mbah?" tanyaku masih tetap berusaha menekan angka di remote control mencoba saluran yang lain.
"Ora eroh (nggak tahu)," jawab Embahku dalam bahasa Jawa yang tidak jelas.
Sejak Embahku kena stroke tiga tahun yang lalu, bicaranya tak pernah jelas lagi. Lumpuh separuh badannya yang sebelah kanan mengakibatkan dirinya banyak menghabiskan waktunya di kursi roda."Sejak kapan?" tanyaku lagi.
"Wis sui ora nonton TV (sudah lama tidak nonton TV)," jawabnya dengan pandangan menerawang membuatku nelangsa melihatnya.
Aku hanya bisa menggeleng lalu mematikan televisi kemudian menuju kamar tamu yang akan menjadi kamarku selama dua bulan kedepan.
Meletakkan tas ranselku diatas dipan dengan kasur tipis tanpa penutup. Aku mengganti celana jeans dan hemku secepatnya dengan daster batik biru langit cerah yang rasanya nyaman sekali dikulitku.
Tanpa peduli dengan kamarku yang kotor, aku segera menuju dapur. Aku hanya bisa menggelengkan kepala dengan keadaannya yang lebih memprihatinkan lagi.
Tumpukan piring, gelas dan sendok kotor memenuhi area bak cuci piring. Hanya tinggal dua buah piring di rak dari besi berwarna merah dan putih itu. Membuat hatiku begitu jengkel melihat suasana rumah yang begitu berantakan. Untunglah ada rantang susun yang sudah dicuci. Aku meletakkan sayur dan lauk-pauknya dalam rantang susun. Kemudian menyiapkan makan siang untuk Embahku yang sudah sangat terlambat. Aku tahu pasti dia sangat kelaparan.
"Ayo Mbah, aku suapi," kataku sambil mengambil kursi plastik putih lalu duduk di depannya.
"Aku iso dewe, kowe mangan sek (Aku bisa sendiri, kamu makan duluan)," kata Embah, selalu begitu lebih mementingkan orang lain.
"Aku tadi sempat makan roti di jalan, Mbah. Nanti setelah Embah makan, aku akan makan juga," kataku berjanji meskipun tidak seyakin itu. Suasana rumah yang berantakan, benar-benar membuatku kehilangan selera makan.