Bab 4

36 4 0
                                    

Aku memandikannya lebih lama daripada seharusnya karena memotong rambut tipisnya terlebih dulu kemudian memotong kukunya, menyuapinya makan lalu sesudahnya mendorong kursi rodanya kedalam kamarku.

"Mbah, nanti malam tidur bersamaku saja, ya?" pintaku tanpa membawa masalah kasur basahnya.

"Ora usah (tidak usah)," katanya.

"Kenapa? Bukankah dulu kita sering tidur bersama?" ujarku mengingatkannya pada jaman dulu saat aku harus tidur berhimpitan dengannya di lantai rumah Ibuku yang kamarnya hanya berukuran tiga kali tiga.
Embah dulu sering memijat badanku sebelum tidur, padahal aku tahu badannya lebih letih setelah seharian mengurus aku dan adik-adikku.

Ibuku seorang wanita karir yang super sibuk, bekerja di sebuah hotel berbintang sebagai marketing. Jika ada pembantu Embahku bisa bekerja lebih ringan. Tapi faktanya, pembantu tak banyak yang betah tinggal di rumahku. Jadi Embah yang mengambil alih mengurus aku, adik-adikku dan juga rumah tangga.

"Sek, kowe ora iso turu (Nanti, kamu nggak bisa tidur)," katanya beralasan. Aku tahu pasti dia tak enak jika kehadirannya akan menyusahkanku.

"Aku justru nggak bisa tidur, kalo nggak didekat Embah." Dan agar dia bisa yakin aku memamerkan senyum tulusku.

Aku membiarkan Embah menikmati pemandangan menatap jalan besar dengan kendaraan yang lalu lalang dari balik jendela kamarku.

Aku sudah menata tempat tidurnya di pojokkan dengan sprei kuning terang menyegarkan yang baru saja kubeli tadi siang. Aku lihat dia merabanya, membuatku prihatin. Sudah berapa lama dia tak menikmati kasur dengan sprei katun yang bersih dan sarung bantal yang serasi.

Sementara untukku sendiri, aku sengaja mengambil kasur tak terpakai dari loteng dan menumpuknya menjadi dua. Tanpa tempat tidur tetapi lantai keramiknya aku alasi lampit rotan agar angin dingin dari lantai tak membuatku masuk angin.

Selesai mandi dan sholat Ashar yang hampir menjelang senja, aku mengaji beberapa ayat Qur'an hingga adzan Magrib menggema dari ujung Langgar yang terletak beberapa ratus meter diatas perbukitan.

"Sholat ya, Mbah. Boleh duduk atau sambil tidur. Yang penting niatnya," ujarku. Embah hanya bisa mengangguk.

Jeda antara sholat Magrib dan Isya, Embah banyak bercerita selama satu bulan aku tak menemuinya.
Katanya si Prian, anaknya Bude Ara yang paling tua, sudah menikah dan tinggal di Jawa itu memaksa Bude Ara untuk datang. Sampai Bude Ara menjual tanahnya dengan alasan untuk ongkos mengunjungi cucunya, anak Prian seorang perempuan satu-satunya yang masih berumur dua tahun.
Buntutnya Embah menambahkan sepertinya Prian sedang menganggur. Oh, agak pusing juga dengar kisahnya Bude Ara. Anak-anaknya tidak ada yang bisa diandalkan justru hanya bisa menyusahkan Ibu mereka yang seorang janda dan telah pensiun.

Before You GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang