Bab 7

55 5 0
                                    

Aku sibuk mengurus skripsi ketika Ibu menelponku bahwa Embah sakit. Parahnya Bude Ara berulah.

"Apa, Bu! Kenapa Ibu membiarkan Bude Ara mencabut infusnya?" tanyaku saat Ibu berkisah Embah mendadak sakit, tak mau makan sudah satu minggu.

Bude Ara berkata Embah hanya manja saja dan mencari perhatian. Karena terlalu lemah Ibuku sengaja memanggil dokter rumah sakit untuk diobati di rumah saja. Tapi herannya Bude Ara dengan alasan selang infusnya macet meminta seorang suster untuk melepasnya.

"Ibu, kondisi Embah bagaimana?" jeritku. "Apakah itu serangan stroke lagi?" tanyaku.

"Mungkin!" jawab Ibu terdengar asal.

"Aku akan pulang besok!" kataku kemudian. Bertepatan dengan kabar baik yang kuterima kemudian dari bagian Akademik kampus, membuatku merasa senang mengetahui bulan depan adalah jadwalku untuk mengikuti Ujian Pendadaran atau ujian terakhir skripsi sebelum meraih gelar Sarjana Ekonomi.

Esok Paginya. Samarinda, areal Gunung Kelua yang dingin. Adzan Shubuh baru saja selesai berkumandang, aku justru menarik selimutku hingga kepangkal leher untuk menemukan kehangatan beberapa saat sebelum bangkit dan menunaikan sholat Shubuh saat pesan SMS terdengar dari ponselku.

Innalillahi Wainaillahi Rojiun, di pagi Shubuh ini Ibuku telah kembali pada sang pencipta.

Itu isi pesan dari Ibuku.

Aku tahu hal ini akan terjadi, cepat atau lambat. Meskipun aku telah mempersiapkan diri akan semua ini. Toh, aku limbung juga beberapa saat dan tak kuasa menahan sesak di dada yang tiba-tiba mendera. Airmataku jatuh menetes deras seperti anak sungai yang mengalir enggan berkesudahan.

Aku berusaha menahan agar airmataku bisa terkontrol dan tak jatuh lagi.

Namun siapa menduga ketika aku datang lantas mendekati tubuh Embahku yang sudah kaku, aku tak kuasa menahan gemuruh didadaku hingga dinding pertahananku harus jebol. Aku pun menangis lagi. Meski tak bersuara tapi suara hidungku sama sekali tak nyaman di dengar. Parahnya aku tak mempersiapkan tissue atau sapu tangan menghadapinya sehingga jilbab hitamku menjadi kotor.

Aku mengikuti proses memandikan mayat yang tak bisa aku ungkapkan rasanya kala memenuhi jiwaku.

Meskipun aku tak sanggup bila harus memangku tubuhnya. Namun saat menyiramkan air dengan gayung beberapa kali perasaan dalam hatiku sulit untuk dilukiskan. Hanya satu yang kuingat, suatu hari aku juga akan berada di posisi itu dengan tubuh telah kaku.

Kain kafan berwarna putih bersih itu membangkitkan aroma yang berbeda dalam ingatanku.

Embah terlihat cantik sekali, suci dan bersih dalam balutan serba putih. Dia seperti sedang tertidur. Dan wajahnya kelihatan tenang dalam keabadian. Aku mengucapkan salam perpisahan padanya sebelum wajahnya ditutup dengan kapas bertabur serbuk cendana.
Aku tahu, aku sangat sedih dan merasa kehilangan. Hanya berusaha ikhlas melepas kepergiannya.

Before You GoTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang