Tujuh bulan sebelumnya.
Hari terakhir bersama embah, sebelum kembali masuk kuliah. Bude Ara akan kembali dari Jawa besok. Meskipun selama dua bulan aku melalui waktu dengan kegiatan yang sama tetapi mengurus rumah dan menjaga Embah, bagiku sangat menyenangkan.
Cuaca sangat cerah. Masih pukul tujuh pagi tetapi matahari sudah terasa terik. Jadi kuputuskan untuk berjalan ke laut. Jarak tempuhnya sekitar lima ratus meter dari rumah Bude Ara.
Tiba di pinggir pantai. Aku menatap laut Selat Makassar yang biru. Langit tertutup awan tetapi cuaca tetap terasa panas.
"Gimana, Mbah. Senang bisa lihat pantai?" tanyaku.
Mbah tak menjawab, wajahnya tanpa ekspresi.
"Iki dino opo yo, Tar? (sekarang hari apa ya, Tar?)," tanya Embah dengan tatapan yang sulit untuk diungkapkan.
"Kamis, Mbah. Kenapa?" jawabku tanpa dapat menutupi keherananku.
"Aku arep mlaku-mlaku (aku mau jalan-jalan)."
"Lha ini Embah sudah jalan sama aku. Mau jalan kemana lagi, Mbah?" tanyaku sedikit khawatir dengan arah pembicaraannya.
"Wis wayahe, aku wis digoleki embokku (sudah saatnya, aku dicari Ibuku)," tuturnya melantur.
"Embah, kenapa?" tanyaku khawatir sambil membungkuk di depan kursi rodanya dan melihat mata abu-abunya dalam balutan kesedihan. Tapi Embah justru hanya menggeleng.
"Ora opo-opo,Tari. Sampun (Tidak apa-apa, Tari. Terima kasih)," kata Embah dengan mata berkilat.
Aku mengingat kejadian di pantai itu dengan linangan airmata. Kini membuatku mengerti sebenarnya itu adalah kata perpisahan tersirat dari Embah.
Aku terlambat tiba hingga di pekuburan, gara-gara parkir mobil terlalu jauh sehingga tak bisa melihat Embahku dimasukkan liang lahat. Aku sedih sekali. Namun kutabahkan hatiku dan kulantunkan doa dengan airmata yang merebak.
Embah semoga Allah memberikan tempat yang indah di surga.
Tempat yang menyenangkan. Bertemu dengan orang-orang yang kau sayangi di masa lalu.
Semoga engkau tenang disana. Sampai jumpa Embah sayang. Selamat Jalan, Embah.