Prologue.

669 37 8
                                    

"In my dream you're mine, but in my life you're a dream."
Anonymous

•••

Sore ini aku akan mengungkapkan semua perasaan yang sudah lama kupendam. Entah lah, aku tak tau apa ia juga memendam perasaan yang sama terhadapku, atau justru rasa ini hanya membuncah pada diriku saja?

•••

"Sorry, Vel. Lama ya?" Sapa gadis yang bernama Arzellia dengan nafas yang tersenggal. Rambut nya yang di kuncir kuda bergerak kesana kemari mengikuti gerakan kepala nya.

Alih-alih menjawab sapaan Arzel, cowok yang di panggil Ravel itu hanya berdehem seraya tersenyum singkat. Merasa rikuh, Arzel berusaha kembali meminta maaf atas keterlambatannya, "Sorry banget sumpah. Tadi ban sepeda gue yang belakang bocor, jadi nya telat deh," jelas Arzel kepada Ravel

"Iya gapapa, gue juga baru sampe kok," jawab Ravel dengan tenang.

Setelah ucapan singkat Ravel terdengar, suasana mendadak hening, dua insan yang tangah duduk di bawah rimbunnya pepohonan seperti enggan untuk memulai pembicaraan terlebih dahulu.

"Zel?"
"Vel?" Ucap keduanya bersamaan.

"...."

"Lo duluan deh," sergah Arzel lebih dulu

"Nggak deh, lo duluan aja," sahut Ravel seraya menggeleng cepat.


Arzel tampak menimang dengan mengetuk-ngetukan jarinya didagu. "Gapapa kok, lo aja dulu abis itu baru gue," jawab Arzel pada akhirnya

"Leadis first, right?" Ravel mengangkat kedua alisnya beberapa kali.

"Yeah, i know, but, you invited me to this park." bantah Arzel masih tidak mau kalah.

"So?" Ravel masih setia dengan ekspresinya, alisnya masih bertengger kuat diatas matanya.

Arzel berdecak, "Jadi ya lo berhak buat ngomong duluan. Ayo lah, Vel. Jangan buang-buang waktu," elak Arzel telak.  Sebenarnya Arzel bisa saja bicara lebih dulu, hanya saja ia takut kalau-kalau Ravel tak memiliki perasaan apapun terhadapnya, mau taruh di mana mukanya nanti?

"Oke," Ravel menghela napas panjang, "jadi gini, gue sebenernya nyuruh lo dateng ke sini buat ngomong sesuatu sama lo," ujar Ravel menjelaskan, ditatapnya Arzel dalam kegemingan. Keadaan mendadak sedikit mencekam, lamat-lamat Arzel mulai membalas tatapan Ravel tepat di manik matanya juga, degup jantung Arzel terus menderu bak suara gendang yang ditabu tak tentu irama.

Pandangan Arzel terus menari-nari di wajah Ravel, menyusuri setiap inci bagian yang tercipta disana. Hidung yang dipahat indah, Mata besar bak bola pingpong yang menampakan iris berwarna coklat terang, bibir tipis berwana merah muda, di tambah lagi alis tebal yang membuat nilai ketampanan Ravel bertambah. Satu kata yang ingin Arzel suarakan saat itu;

Sempurna.

Ingin sekali saat itu juga Arzel mangatakan hal itu, tapi Arzel tau ini bukan saat yang tepat.

"WOI ARZEL DENGAR NGGAK SIH?" ujar Ravel seraya menggerak-gerakan telapak tangannya di depan wajah Arzel, menyebabkan si empunya terhenyak dari lamunan nya.

"Eh, eum, i-iya apa?" Tanya Arzel gugup.

"Jadi lo nggak denger dari tadi gue ngomong apa?" Tanya Ravel seraya menghela napas berat.

"Hehe sorry, Vel." jawab Arzel menggeleng seraya tersenyum kikuk.

Lagi, dehalanya napas panjang oleh Ravel, "Kalo orang ngomong itu didengerin, Zel." katanya sedikit menahan emosi

"Yaudah, sih, jalasin ulang kan bisa" semprot Arzel tak kalah emosi.

"Kok jadi lo yang sewot?" Tanya Ravel seraya mengangkat alisnya bingung.

Arzel menunduk, "Iya maaf" jawab Arzel seraya cekikikan.

"Gue ulang nih, ya, awas ya kalo lo nggak dengerin lagi!" Ancam Ravel pada Arzel. Sejurus kemudian, Ravel kembali menghela napas dalam-dalam. "Sebenernya, gue suka sama..." Ravel menggantung kan kalimat nya, Arzel menatap Ravel penuh harap.

Cepet, Ravel, bilang, jangan sampe gue mati gara-gara penasaran sama apa yang mau lo omongin. Ayolah, jantung gue udah berasa mau copot nih. Batin Arzel

Ditatapnya Arzel sekali lagi, "Sama Kamelia, dari pas kita kenalan. Ya, sejenis Love at first sight." Lanjut Ravel sekali hentakan dan disertai senyum yang sedikit mengembang.

Deg!

Arzel membeku di tempat nya, rasanya seperti dihujam ribuan godam. sesak.

Aku. Butuh. Oksigen. Sekarang. Juga.

Batin Arzel seraya menahan bulir-bulir air mata yang sudah memenuhi pelupuk mata nya.

"Jangan bilang lo nggak dengerin gue lagi?" Tanya Ravel memastikan.

"Dengerin kok," potong Arzel singkat disertai senyum paksaan "Terus gue harus apa?" Tanya Arzel dengan suara yang mulai sumbang.

"Gue cuma mau lo," Lagi-lagi Ravel menggantungkan kalimatnya.

"Apa?" Tanya Arzel mati-matian menahan tangis.

"Bersedia bantuin gue untuk ngedapetin hatinya Kamel," lanjut Ravel seraya tersenyum senang, senyum yang belum pernah ia tunjukkan sebelumnya.

"O-oke" Arzel menyanggupi, "oiya, gue lupa. sorry banget, ya, Vel. Gue harus buru-buru pulang. Gue ada janji sama nyokap mau ke salon," ujar Arzel sepenuhnya dusta. Tanpa berkata apa-apa lagi, Arzel segera berlari menuju sepedanya yang bertengger di parkiran. Pandangan nya kabur, tetes demi tetes bulir air mata yang sedari tadi ditahannya lolos begitu saja. Satu hal yang Arzel tau;

Rasa hangat yang menjalar setiap kali aku berada di dekatnya, ternyata hanya tumbuh di hatiku saja, tidak dengan hatinya. Lalu, aku harus apa? Tentu saja memendamnya. Aku tak masalah jika aku menderita, yang terpenting adalah kebahagiaannya, kebahagiaan Ravel. Bukankah cinta tak harus memiliki? Bukankah cinta yang sesungguhnya rela berkorban demi cintanya? Tentu saja, aku harus belajar untuk merelakan.[]

###

Yang dimulmed itu Arzel. Kalo mau bayangin yang lain juga ngga apa.

M e m e n d a mTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang