Pasar Malam.

236 17 7
                                    

"My mind says to let go of you, but it feels like I'm cheating on my heart if I try to move on."
-Sarahnrftyh-

•••

Entah ada angin apa, sepulang dari pasar tempat kami melakukan Negosiasi, Ravel mendadak merengek minta ke Pasar Malam. Awalnya kami menolak, tapi Ravel justru bersikeras untuk dapat mengunjungi pasar malam. Akhirnya, karena kami sudah tak kuat mendengar permintaannya, Aku, Dirga, dan Kamel harus menuruti kemauan anak satu ini.

"Eh, tau nggak filosofi tentang Bianglala? Katanya kalo kita naik bareng orang yang kita sayang dan pas ada di titik paling atas terus kita make a wish, pasti bakal terkabul?" Tanya Ravel padaku dan Dirga Saat kami sudah berada di area Pasar Malam. Kebetulan, Kamel tadi pamit mau ke kamar mandi.

Dirga menoleh pada Ravel. "Iya, gue kaya pernah denger," sahut Dirga, "Sana deh, lo berdua naik Biangala itu. Kali aja 'kan....." Lanjutnya menggantung.

"Kali aja apa?"

"Kali aja apa?"

Tanyaku dan Ravel bersamaan.

"Noh, kalian cocok tau hahahaha" ujar Dirga seraya memberi kode melalui tatapannya padaku yang berartikan 'sono buruan, udah gue bantuin, tuh.' Aku menggeleng seraya mendelik tak terima.

Ravel menggeleng tak kalah cepat. "Gue mau nunggu Kamel aja, ah." Sahut Ravel santai. Ah, ingin sekali kuhantam bibirnya.

"Yailah, lebay lo," cibir Dirga. "Lagian si Kamel lagi ke kamar mandi. Nanti kalo dia udah balik, tuh, baru lo naik sama dia!" Lanjut Dirga antusias seraya mendorong punggung kami berdua ke arah pintu masuk bianglala.

Aku tak tahu harus berterimakasih atau justru harus marah pada Dirga karna sikapnya yang semena-mena ini. Sialan. Mengapa perasaan hangat yang maha brengsek ini kembali lagi padaku.

Ah. Harus nya aku mulai belajar untuk melupakan, bukan malah memperdalam. Ya, aku tahu. Walaupun terdengar mustahil, tapi tetap saja ini tidak akan baik untuk diriku. Ah. Aku benci mengakui kalau aku mencintainya.

Sudah banyak cara yang kulakukan agar bisa melupakannya, tapi tetap saja semua cara itu gagal. Kadang memeng seperti itu, hati dan otak seringkali tak singkron jika di kaitkan dengan urusan cinta. Otak berkata; Lekas pergi atau nanti lukamu tak kunjung membaik. Tapi, Hati Berkata; Untuk apa berhenti di tengah jalan? Teruskan dan kau akan bahagia.

Persetan dengan hati yang selalu menang dalam perang batin, tapi realitanya? Otak selalu betul dalam memprediksi tentang cinta.

"Bae-bae jangan ngelamun mulu, jatoh baru tau rasa lo," kata Ravel mengenyahkan semua pikiran yang tengah bergelayutan diotaku, aku segera naik ke salah satu Bianglala.

Bianglala itu mulai berputar mengikuti porosnya. Saat bianglala ini berada pada poros seratus delapan puluh derajat, aku melihat Kamel sudah berada disana seraya melambaikan tangannya ke arahku dan Ravel dengan antusiasme tinggi.

Ah, aku lupa membuat satu permohonan saat di atas tadi. Tak masalah, masih ada putaran kedua.

Bianglala ini mulai menuju ke titik seratus delapan puluh derajat untuk yang kedua kalinya, saat tiba di titik itu, tiba-tiba Bianglala ini berhenti berputar dan listrik padam seketika.

Sialan. Mengapa harus kegelapan?

Telapak tanganku seketika dingin, tubuhku langsung bergetar hebat, otot-otot ditubuhku menegang. Aku langsung menaikan kedua kakiku ke atas bangku besi yang ada di dalam Bianglala ini dan langsung menumpahkan wajahku disana. Aku menutup mataku rapat-rapat, tak terasa celana yang kugunakan untuk menangkup wajahku sudah basah dengan air mata.

"Arzel, lo kenapa?" Tanya Ravel panik seraya mengguncang-guncangkan bahuku pelan. Tak kupedulikan pertanyaannya, aku justru malah menangis sejadi-jadinya.

Tak berapa lama, aku mendengar suara ponsel Ravel berdering. "Hallo Kamel, kenapa telpon?"

"......."

"Terus gue harus gimana?" Suara Ravel terdengar sangat panik.

"......."

"Oke-oke."

Setelah itu, tak ada lagi suara Ravel yang sedang berbicara dengan Kamel melalui ponsel.

"Lo takut kegelapan, Zel?" Tanyanya dengan suara lembut. "Jangan taro muka lo di situ, coba angkat kepala lo, terus lo tarik napas dalam-dalam. Kalo lo udah ngerasa sedikit tenang, buka mata lo perlahan." Titahnya padaku. Entah kenapa, aku mengikuti semua perintahnya.

"Gimana, mendingan?" Tanya nya lagi, "Lagian, kan, kalo lo merem gitu sama aja gelap?" Ujarnya padaku, "Zel, Lo gak boleh takut sama gelap. Sebenernya dengan adanya gelap lo bakal ngerasa tenang. Lo cukup bayangin hal-hal yang menyenangkan aja. Toh, kalo lo tidur kan pasti merem, terus kalo merem juga kan pasti gelap. Iya, kan?" Lanjutnya beruntun. Apa yang dikatakannya memang benar. Ah, mengapa aku harus takut pada kegelapan? Perlahan, kuangkat kepalaku, kupandang ia sekejap lantas kubuang pandanganku darinya.

"Yaudah, mumpung sekarang ada di poros seratus delapan puluh derajat, make a wish, yuk!" Ujarnya padaku, sejurus kemudian ia menutup matanya, dan aku ikut menutup mataku untuk membuat permohonan.

Ya Tuhan, sudahi saja segala permainan batin ini. Kalau emang dia bukan untukku, apa sebab kau buat aku berharap padanya? Hilangkan saja semuanya, Tuhan. Amin.

Tepat saat kalimat itu ku rapalkan, Pasar Malam ini kembali terang benderang, Bianglala yang sedang kami taiki ini kembali berputar. Saat sampai dititik awal, Bianglala ini berhenti. Akhirnya aku dan Ravel segera turun dari Bianglala terkutuk ini.

"Ya, ampun, Zel. Lo gapapa, kan?" Tanya Kamel panik seraya memegang bahuku kuat. Aku hanya menggeleng seraya tersenyum singkat. "Syukur, deh," lanjutnya.

"Beli permen kapas yang itu, yuk!" Seru Ravel sambil menunjuk ke lapak pedagang permen kapas.

"Ayo! Gue suka banget sama permen kapas!" Sahut Kamel semangat. Sejurus kemudian, Ravel menarik lengan Kamel dan berlari ke arah pedagang permen kapas itu.

"Lo, gapapa, kan, Zel?" tanya Dirga padaku, aku hanya menggeleng singkat seraya berjalan menyusul Ravel dan Kamel, sementara Dirga membuntutiku dibelakang.

Lapak pedagang permen kapas itu lumayan jauh, aku jadi harus sedikit berlari untuk menyusul mereka. Tapi, entah kenapa kepalaku terasa nyeri. Ah, tidak, ini amat sangat nyeri.

Langkah kakiku refleks terhenti, aku meremas rambutku keras guna meredakan rasa nyeri itu, tapi usahaku nihil. Kepalaku justru makin terasa nyeri. Pandanganku seperti berputar-putar. Sayup-sayup terdengar suara Dirga memanggil namaku, sampai tiba-tiba semuanya menghitam seperti ditelan awan pekat.[]

M e m e n d a mTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang