Hujan.

227 15 3
                                    

“Like a curse, as rain lashed the earth, memories too comes into mind of its people.”
Sarahnrftyh—


A/n: Dianjurkan untuk mendengarkan mulmed terlebih dahulu.

•••

Setelah berbaring selama empat hari dirumah sakit, akhirnya Arzel diperbolehkan untuk kembali menjalani aktivitas sehari-hari.

Disinilah Arzel, di gedung sekolah yang paling ia cintai. Berjalan dengan santai dan sesekali bersiul-siul kecil.

Baru saja Arzel menginjak lantai kelasnya, Kamel langsung lari dan menghamburkan tubuhnya untuk memeluk Arzel. "Gila! Gue kangen banget, Zel!" Katanya semangat. "Sorry selama lo dirawat gue nggak sempet jenguk." Lanjutnya dengan sendu.

Arzel mengangguk seraya berkata, "Yailah, gapapa kali. Gue tau kok lo sibuk."

Kamel pun ikut mengangguk tanda menyetujui perkataan Arzel. "Gue mau cerita, deh, sama lo. Boleh nggak?" kata Kamel sedikit berbinar.

"Anything. Lagi sejak kapan, sih, lo mau cerita aja nunggu persetujuan gue dulu?" Tanya Arzel heran, pasalnya gadis itu memang selalu menceritakan apapun terhadapnya, bahkan kejadian memalukan sekalipun akan ia ceritakan.

"Ya iya, sih..." katanya menggantung. Alih-alih melanjutkan, Kamel malah menatap Arzel skeptis. Melihat adanya keraguan dimanik mata Kamel, Arzel langsung menaikan kedua alisnya berulang kali.

"Masalahnya ini soal Ravel," lanjut Kamel pada akhirnya

Deg!

Mendengar nama itu disebut, apalagi oleh Kamel, jantung Arzel terasa berdetak dua kali lebih kencang dari biasanya.

"Tapi entar aja, deh, pas istirahat." Ujar Kamel mengenyahkan segala asumsi yang saling mendesak masuk kedalam pikiran Arzel.

"Oke." Jawab Arzel sebisa mungkin tak acuh seraya berjalan menuju meja milik mereka.

Tujuh menit setelahnya, Dirga datang bersama Ravel dengan tampang sumringah. Arzel menatap Dirga yang sepertinya berjalan lurus menuju tempatnya.

"Eh, Arzel udah masuk." Seru Dirga setelah berada di depan Arzel yang tengah berkutik dengan pena dan kertas yang sudah hampir dipenuhi tinta.

Alih-alih menjawab sapaan Dirga, Arzel hanya menoleh sekilas dan menggedikan bahunya tak acuh, lantas kembali memfokuskan perhatiannya pada secarik kertas yang ada didepannya.

"Kayaknya kadar cuek orang yang lagi nulis puisi tinggi banget, ya." Nyinyir Dirga seraya melangkah menuju mejanya.

Kamel ikut menoleh ke arah Arzel seraya mengamatinya "Zel," Kamel menyenggol sikut Arzel.

"Naon?" Sahut Arzel tanpa menoleh. Sejujurnya, Arzel bisa saja menoleh, hanya saja ia sungkan jika harus kembali mendengar nama Ravel disebut oleh sahabatnya itu.

"Kalo ada cowok yang terus-menerus ngasih perhatian ke kita tanpa kejalasan, bukan berarti dia suka sama kita, kan?" Tanya Kamel padat, menyebabkan si empunya yang diajak bicara menoleh, luruh sudah benteng yang tengah Arzel bangun untuk tidak menoleh. Alih-alih menjawab, Arzel malah menatap Kamel dengan pandangan bingung.

Kamel mendesah pendek, lantas kembali menarik napas dalam. "Cowok yang gue maksud itu Ravel." Tandasnya. Arzel bergeming, dan membeku, seakan dunia pun berada dipihaknya, ikut berhenti berputar pada porosnya.

Arzel menemukan fakta baru saat itu, kini Kamel telah sadar kalau Ravel tengah memberinya perhatian lebih. Hanya tinggal menunggu Kamel sadar jikalau Ravel memang menyukainya.

M e m e n d a mTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang