"Solji, mengapa kau tidak mendaftar sebagai perawat saja di camp?" ujar Park Seungjin, ayah Solji.
Solji yang tengah membantu ibunya memasak sarapan itu langsung menatap ayahnya yang sedang membaca koran, "Aku baru saja lulus, aku ingin menghabiskan waktuku bersama kalian dulu"
"Apa tidak bosan? Ayah dengar juga disana sedang membutuhkan perawat"
"Sudah yah, biarkan Solji yang memilih"
Solji mengalihkan perhatiannya ke masakan yang sedang ia buat, ia menarik nafas.
"Nanti aku akan melamar pekerjaan disana" ujarnya.
Kedua orangtuanya menatap putri bungsunya itu, sang ayah tersenyum puas.
"Itu baru anakku"
***
3 jam waktu yang dibutuhkan Solji untuk menyusun lamaran yang akan ia serahkan pada camp. Ia dengan gugup membaca ulang lamaran tersebut, takut jika ada bagian yang salah maupun kurang.
"Hah, akhirnya selesai juga. Ku serahkan besok saja" ucap Solji sembari melihat jam di dinding.
***
Sedangkan di lain tempat, Jongin yang mendapat tugas menyeleksi calon perawat merasa kebingungan.
"Hanya segini? Kita butuh 2 lagi agar bisa diseleksi" ujarnya gelisah. Ia akan mendapat marah dari atasannya jika ia mendapatkan perawat yang sedikit. Padahal di daerahnya banyak sekali wanita yang mengerti tentang kesehatan dan sebagainya.
"Kita perpanjang saja waktunya, sampai lusa. Bagaimana, Sersan?" bawahanya mengusulkan, Jongin pun mengangguk. Ia harus mencapai kuota, setidaknya boleh lebih sebagai cadangan.
Ia harus mendapatkannya.
"Aku akan berjalan-jalan menyebarkan lowongan perawat. Kau jaga disini saja" usul Jongin, ia pun membereskan barang-barangnya.
"Baik, Sersan" setelah memberi hormat kepada Jongin, ia pun segera melihat-lihat kembali berkas calon perawat tersebut.
***
Rumah demi rumah, orang demi orang, wanita demi wanita, ia datangi. Meminta agar para wanita bersedia mendaftar sebagai perawat di camp militernya.
Tibalah ia dirumah Solji, dengan ragu, Sersan Mayor yang umurnya masih 25 tahun itu mengetuk pintu kayu tersebut.
Tok tok tok
Kenapa tidak ada yang menjawabnya? Ia pun memutuskan untuk mengetuk pintu itu lagi, tetapi sebuah suara memberhentikannya.
"Umm, Jongin?"
Itu suara bidadari nya!
Tapi dimana kah ia?
"Diatas sini!" teriaknya. Jongin pun mendongakkan kepalanya ke atas. Oh dia baru sadar bahwa rumah ini bertingkat 2.
"Ada apa?... Ah sebentar, aku turun dulu" ucapnya lalu menghilang. Mungkin sedang menuruni tangga.
Tak lama kemudian, pintu pun terbuka. Solji mengenakan dress dengan cardigan untuk menutup lengannya yang terbuka. Ia mengurai rambutnya, sangat cantik dengan poni yang terlihat lucu.
Jongin tidak sadar bahwa ia terus menatap wajah Solji, membuat Solji sedikit salah tingkah. Ia lalu melambaikan tangannya ke wajah Jongin, isyarat agar ia harus berhenti melamun.
Jongin tersadar, ia lalu berdeham. "Ehem, aku kesini memberitahukan padamu agar bersedia melamar sebagai.. perawat kami. Aku.." Jongin menggantungkan kalimatnya.
Ia tak tahan melihat wajah Solji yang menurutnya sangat cantik.
"Melamarlah sebagai perawatku, Nona. Ah.. maksudnya perawat kami"
Solji mengangguk pelan, "Sebenarnya aku sudah membuat lamaran itu, lalu rencananya besok akan menyerahkannya"
Jongin tersentak, tapi bagaimana jika Solji digilai banyak tentara di camp. Ia tidak mau hal itu terjadi, walau sudah banyak pria yang menyukai Solji. Tapi tetap saja....
"Uh, yah. Aku senang, maksudku kami akan senang jika kau bergabung. Kau boleh menyerahkannya padaku" ujar Jongin.
Solji menatapnya dengan tatapan benarkah-itu? Lalu dibalas dengan anggukan oleh Jongin.
"Sebentar, akan aku ambilkan" Solji pun bergegas untuk mengambil berkas itu, tetapi ia kembali lagi.
"Kau..ingin minum sesuatu? Mungkin kau haus?" tawar Solji.
'Sebenarnya aku haus, tetapi aku sudah melihat wajahmu. Jadi haus itu hilang' pikir Jongin.
"Tidak usah, Nona" jawab Jongin disertai senyuman manisnya. Untuk sesaat, Solji terpana melihat senyuman itu. Menambah kesan tampan di wajah Jongin.
"B-baiklah" ia lalu menuju kamarnya. Tak lama kemudian, Solji membawa berkas lamarannya dan menyerahkannya pada Jongin.
"Ini dia" ucap Solji. Jongin menerimanya, lalu ia berdiri untuk pamit pulang.
"Terima kasih, kalau begitu. Pengumumannya seminggu lagi. Pastikan kau belajar, Nona. Saya pamit dulu" Solji membalas perkataan Jongin dengan anggukan.
Tepat sebelum Jongin melangkahkan kakinya keluar, ia segera membalikkan badannya.
CUP
Ia mencium bibir merah milik Solji yang sedari tadi menggodanya itu. "Aku harap kau diterima"
Lalu ia segera pergi setelah memberi hormat pada Solji. Ia cepat-cepat melangkahkan kakinya menjauhi rumah Solji, menormalkan dentuman di jantungnya cukup sulit ternyata.
Sedangkan Solji hanya diam, ia mematung. Seakan-akan otaknya terlalu lambat mencerna semua itu. Ciuman Jongin begitu... baru. Ia tidak pernah dicium oleh pria. Berhubungan saja tidak pernah, apalagi berciuman.
Beruntung orangtuanya sedang pergi. Ayahnya pasti sedang memantau sawah yang sebentar lagi akan panen. Sedangkan ibunya pasti sedang bergosip ria di pasar, karena ibunya berjualan hasil panen milik ayahnya.
Solji mencubit pipinya keras, berharap ini hanya mimpi. Namun semua ini nyata karena ia mendapati dirinya kesakitan saat ia mencubit pipinya sendiri.
"Ahhh! Aku akan mandi"
KAMU SEDANG MEMBACA
Back In Time [Cancelled]
FanfictionMengisahkan kisah dibalik Perang Vietnam, dan Korea Selatan yang meninggalkan luka bagi tiap keluarga yang ditinggalkan. Aku, salah satunya. Jadi, akan ku kisahkan kisah yang merenggut belahan jiwaku.