[6]

16 3 0
                                    

Niall's pov

Aku mencoba mengabaikan kejadian semalam, meskipun hatiku mencelus saat dia menangis sambil menyebutkan nama lelaki itu -uh bahkan aku tidak sudi menyebut namanya.

Aku mengetuk pintu kamarnya, bermaksud mengantarnya sarapan dan mengobrol sebentar dan aku ingin mengorek kejadian kemarin yang dia tiba-tiba berubah 180 derajat saat kami menaiki bianglala.

Tidak ada jawaban.

Aku pun mengetuknya lagi sampai yang ketiga kalinya, masih tak ada jawaban ataupun suara dari dalam sana.

Pikiran-pikiran negatif mulai bermunculan di kepala ku. Apa ia mencoba bunuh diri lagi seperti waktu itu? Tidak-tidak jangan berpikiran begitu bodoh! Kau menyumpahinya mati? Ku gelengkan kepalaku untuk menghilangkan stigma negatif itu.

Aku memutar kenop pintunya, tidak terkunci. Aku langsung buru-buru masuk ke dalam. Dan tahukan kalian pemandangan apa yang kulihat?

Dia sedang tertidur. Aku bersyukur sekali ia tidak melakukan hal-hal aneh. Namun keadaannya kembali kacau. Sama seperti dua bulan lalu. Kantung matanya menghitam, kelopak matanya sembab dan hidungnya memerah. Walaupun ia tertidur namun aku bisa lihat alisnya sedikit mengkerut dan napasnya memburu. Ia tidak nyenyak tidur.

Lantas aku pun maju ke arah ranjangnya, menaruh nampanku di atas nakas. Aku berjongkok didepan ranjangnya, mengelus pipinya yang agak lengket karena dibanjiri air mata yang sudah mengering.

Dia pun terbangun, dengan canggung aku menarik tanganku kembali. Dia mengerjap beberapa kali. "kenapa?" tanyanya. Aku hanya diam menanggapinya.

"kau belum pergi bekerja?" Ujarnya lagi dengan suara parau.

"uh belum-" dia langsung bangun dan berjalan "aku ke kamar mandi sebentar" ujarnya.

Sheira's pov

Aku melihat pantulan diriku dicermin. Sangat kacau. Aku pantas mati. Tapi setidaknya, masih ada yang menyayangiku, Niall.

Tapi untuk apa? Aku tak menyayanginya -maksudku, ya aku menyayanginya, sebagai sahabat. Tidak lebih. Tapi dia? Dia menyayangiku lebih dari seorang sahabat.

Aku tak bisa membalas perasaannya, sekuat apapun dia mencoba, aku tak akan pernah bisa membalasnya. Hatiku sudah terbawa oleh Jack dan tertinggal padanya. Dan mungkin tak akan bisa kembali.

Niall kemarin membawaku menaiki bialala. Itu mengingatkanku pada Jack lagi. Aku ingat sekali, itu adalah tempat favorit kami. Di tempat itulah dia memintaku untuk menjadi kekasihnya. Di tempat itulah ia mengumbar janji-janji manisnya. Di tempat itulah dia menciumku pertama kali. Di tempat itulah -fuck. Terlalu banyak kenangan di tempat itu. Hingga jalang itu datang dan merusak semuanya.

Memikirkan hal itu, membuatku menangis semalaman.


Aku membasuh wajahku kasar lalu keluar dari kamar mandi dan mendapati Niall sedang merapikan tempat tidurku.

"tak apa, aku bisa melakukannya sendiri. Aku tak semenyedihkan itu." aku tersenyum simpul.

"ah tak apa. Aku hanya-"

"apa itu untukku?" Aku memotong perkataannya. Aku sedang malas mengobrol.

"ya" dia mengambil nampan itu dan aku duduk di pinggir ranjang. "ini makanlah," aku pun mengambil nampan itu dan menaruhnya dipangkuanku.

"aku bisa makan sendiri, kau bisa pergi bekerja sekarang." ujarku sambil tersenyum kecil. Aku ingin menghindari percakapan dengannya. Pasti dia mendengar ku menangis semalam, aku yakin dia akan menanyakan hal itu. Dan aku malas membicarakannya.

"tak apa. Aku bisa menemanimu-"

"Niall. Kau bisa terlambat bekerja. Kumohon."

Dia menghela napas "baiklah. Jaga dirimu selagi aku bekerja," ujarnya sambil terkekeh dan mengacak rambutku.

"aku bukan anak kecil lagi" ujarku datar. Aku sangat malas mengobrol apalagi bercanda.

Dia tertawa canggung "baiklah, s-sampai jumpa nanti malam," dia pun keluar dari kamarku.

---

Niall pulang lebih cepat dari biasanya dan dia juga membawa makanan. Dia mengajakku makan bersamanya. Padahal aku tidak mau, tapi dia memaksaku.

Dan disinilah kami, makan dengan suasana canggung. Aku sangat tak berniat memulai percakapan.

"semalam kau menangis. Kenapa?" Tanyanya setelah kami makan.

"aku tak ingin membicarakan itu."

"kau menagis karena Jack, benar kan?"

Aku tak menggubris.

"kau bisa cerita apapun kepadaku. Jangan kau pendam sendiri" aku bangkit dan berjalan ke kamar

"Sheira, kita sudah lama kenal satu sama lain. Kenapa kau menangis semalam sambil dan menyebut namanya? Dan kenapa sikapmu berubah saat kita menaiki bianglala?"

Ternyata dia menyadari perubahan sikapku, "aku sedang tidak mood-"

"aku tau apa yang kau rasakan tentang Jack, tapi tolong jagan berlarut-larut dalam kesedihan. Kau juga harus membuka pintu hatimu kepada orang disekitarmu, yang lebih menyayangimu, yang selalu ada-" ujarnya dengan nada mendesak. Aku muak.

"Stop! Kau tidak mengerti apa yang aku rasakan. Jangan pernah ikut campur dalam urusanku lagi. Berhenti peduli padaku. Karena sekuat apapun kau mencoba, hatiku akan tetap untuk Jack! Dan tak akan bisa digantikan oleh siapa pun!" ujarku menggebu-gebu sambil menunjuk wajahnya "jangan temui aku besok. Aku butuh waktu sendiri. Selamat malam" ucapku dengan nada dingin dan membanting pintu kamarku.

Aku muak dengan perhatiannya

------

Sedih cuy gk ad yg komen :')

Dakumah apa atuh, ada yang baca aja udh syukur :')

SHEIRA |ᵪ horan ᵪTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang