prologue

17.2K 787 11
                                    

Ingat!!! 18+ (:

=====================

Gadis cantik bernama Farozella Prillia itu memutar-mutar tubuhnya di depan cermin. senyum dan tawanya mengembang sempurna melihat rok merah kotak-kotak yang ia kenakan kini. Ya, Prilly -sapaan akrabnya- kini sudah memasuki sekolah dasar.

"Illy cantik 'kan, Yah?" Tanyanya seranya menoleh kebelakang, tepat sang ayah dan Ali -si kakak- berdiri.

Ali memutar dua bola matanya. Cewek terlalu cerewet menurutnya, tinggal pake, udah pas di pinggang, ya udah, gak usah sok imut di depan cermin gitu! Menjijikan, pikir Ali.

"Cantik sayang, ayo pakai yang satunya lagi," Jawab Fero, ayahnya.

Ali membelalakan matanya. Apa-apaan, cewek di puji gitu makin seneng, umpatnya lagi. Dialihkannya pandangan pada Prilly, di depan cermin besar itu Prilly malah geleng-geleng sambil memanyunkan bibirnya sedikit.

"Illy suka, Illy gak mau lepas rok-nya Ayah." Jawab Prilly dengan nada rengekan.

'Kan bener, ngelunjak dia, batin Ali bicara lagi.

"Cepet dikit dong Ly! Aku bosan. Tau gini aku mending gak ikut," cela Ali mulai jengah.

"Ih! 'kan abang sendiri yang mau ikut, Illy gak minta, ya." Kata Prilly membela diri.

"Iya! Tapi syarat aku dapat lego itu harus temenin kamu dulu. Kalau kamu lama, yang ada toko mainannya tutup." Sangut Ali ikut membela diri.

Fero yang melihat kedua kakak-beradik ini adu mulut hanya geleng-geleng kepala saja. Dalam hatinya ia tersenyum senang, sudah lama ia tidak melihat anak-anaknya seperti ini.

Perceraian 4 tahun silam mengharuskan Fero berpisah dengan keluarganya. Fero memilih untuk menetap di Berlin, sekalian buat meneruskan bisnisnya yang ada disana. Karena itu, minimnya waktu untuk anak-anaknya menjadi terbatas. Disamping kegiatan Fero yang sibuk, jarak antara Indonesia-Jerman yang jauh membuat Fero sulit meluangkan waktunya.

"Sudah ya nak, jangan berantem. Illy, kamu coba baju satunya, ya. Dan Ali, sabar dong... tunggu Illy bentar, ya jogoan."

Sosok Fero memang dikenal lembut dan sabar. Entah iblis apa yang merasuki dirinya 4 tahun yang lalu hingga membuat ia mengirimkan surat cerai untuk Dewi -istrinya-. Padahal, masalah yang dilakukan Dewi bukanlah masalah yang terlalu besar, tapi kembali lagi, semua itu terjadi begitu saja.

"Enggak mau, Illy suka bajunya."

"Sumpah ya Ly! 2 jam aku nungguin kamu doang. Aku capek," sahut Ali mulai jengah.
Tangannya bahkan sudah mengepal kuat menahan gejolak yang ada di dadanya. Mungkin sejenis kesal karena sikap manja adiknya itu ditambah lagi moodnya yang jelek. Matanya mulai menggenang mencoba menahan emosi dalam dirinya.

"Yah, matiin alarm mobil. Ali mau disana aja sendiri. Liat Illy disini bikin aku makin benci sama dia, dasar manja!" Akhir Ali.

Fero menarik nafasnya sedikit. Antara senang atau sedih melihat kedua anaknya ini. Sajak dulu mereka tidak pernah bisa damai, selalu ada saja hal yang membuat mereka saling membenci satu sama lain.

Jagoan kecil Fero itu melongos pergi saat Fero sudah mematikan alarmnya. Diliriknya Prilly yang terdiam dengan pandangan kosongnya. Mungkin ia sedikit kaget karena Ali membentaknya tadi, tapi sepertinya bukan soal dibentak Ali yang membuatnya terdiam, tapi soal pernyataan Ali barusan. 'Bikin aku makin benci sama dia, dasar manja!'

Fero berjongkok mensejajarkan diri pada Prilly, anaknya. Diusapnya kepala Prilly sayang. Genangan air mata perlahan jatuh, Prilly menangis. Perlahan, dibawanya Prilly kedalam pelukannya sambil kepalanya terus mengusap rambut Prilly sayang.

Isakan-isakan kecil itu mulai terdengar dari seorang princess Fero. Anaknya menangis, kepalanya ia simpan di leher Fero.

"Udah ya, jangan nangis. Sekarang pakai bajunya lagi, kasian abang nungguin kamu."

"Ab...ab... abang benci Il...Illy, Ayah..." kata Prilly dengan nada sesegukan. Tangan-tangan kecilnya mengusap air mata yang mulai berjatuhan.

"Il...Illy sa...yang ab..abang..." katanya lagi.

[×][×][×]

"Aku bakal bawa Ali, ikut ke Berlin." Kata Fero yang diakhiri hembusan nafas kasarnya.

Dewi, ia hanya diam memandangi Fero dengan tatapan tidak percaya. Seribu pikiran negatif mulai menyeruak dalam batinnya.

"Jangan pikir kalau aku tidak bisa jaga mereka, ya Fer. Aku kuat, aku sanggup." Jawab Dewi tidak terima.

Fero menangkup wajahnya; frustasi. Ia sudah menduga sebelumnya, Dewi pasti akan salah paham dengan ini.

"Bukan gitu, aku pikir mereka gak bisa disatuin... mereka terlalu beda," jawab Fero melemah.

Dewi ikut menarik nafasnya, "Karena Ali......***

Ali Pov

Aku berjalan menuruni anak-anak tangga ingin menuju dapur, tenggorokan ku sedikit kering -- ingin minum.

Sesampainya di dapur, aku mengambil gelas dan mulai mengisinya dengan air putih di atas bar. Setelah merasa cukup, aku berjalan kembali menuju kamar.

"Aku bakal bawa Ali, ikut ke Berlin."

Sayup-sayup aku mendengar percakapan ayah dan bunda di ruang keluarga. Hingga namaku terucap, aku mulai penasaran. Tak ada salahnya aku menguping 'bukan?

Semua pembicaraan terekam jelas di otakku. Hingga pada akhirnya bunda berucap sesuatu yang tidak aku sangka sebelumnya. Sesuatu yang bahkan tidak pernah terbesit dalam pikiranku.

Hingga aku tahu, kenapa aku dan Prilly tidak pernah bisa berdamai.

"Kalau gitu, Ali ikut Ayah aja ke Berlin." Kataku lalu muncul di hadapan mereka.

Mungkin mereka kaget, tapi menurutku itu tidak ada apa-apanya dari kekagetan ku.

Bahkan benci mereka pun aku tidak berhak.


Ditulis: Martapura, 27 Juni 2016
Pavita Avissa

Brother ComplexTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang