7.

110 8 3
                                    

Jana yang tersentak langsung saja melepaskan ciumannya dengan Gesha. Dengan napas terengah-engah, Jana merapikan rambutnya yang agak berantakan, mengambil slingbagnya kemudian berjalan keluar dari apartemen Gesha. Kehadiran Evan benar-benar tidak diharapkan oleh Jana. Ia malu, sangat malu. Sementara itu...

"Lo ngapain nyium Jana?" Tanya Evan dingin. Gesha menatap tajam kearah sahabatnya itu.

"Ya suka-suka gue lah." Jawab Gesha sekenanya. Rahang Evan mengeras.

"Jangan seenaknya mainin hati cewek, terutama Jana." Ucap Evan menusuk. Tapi Gesha tidak memperdulikannya.

"Gue bebas, dia juga bebas. Kenapa lo yang nyolot?" kata Gesha santai. Satu tinju mendarat di rahang Gesha ketika ia menyelesaikan kalimatnya. Gesha yang tidak siap, tersungkur di dekat TV. Ia memegangi rahangnya yang terkena tinju Evan.

"Calm down man! Lo rese ya! Emang hubungan lo sama Jana apa hah? Kok lo tiba-tiba sewot gitu? Lo suka sama Jana? Iya?!" Gesha mendesis sinis. Evan terdiam. Lalu Gesha menyadari sesuatu.

"Van, jangan bilang kalo lo suka sama Jana."

"Gue emang suka sama Jana. Gue bukan sekadar suka, gue sayang sama Jana! Puas lo Ge?" ungkap Evan tajam. Hati Gesha tertohok. Sahabatnya?

"Brengsek lo Van!"

"Kenapa? Lo gak suka? Brengsek mana? Suka sama orang yang disukain sama sahabat sendiri atau pergi tanpa kenal ampun sama orang yang tulus sayang sama lo? Hah?! Jawab gueeee!" bentak Evan kasar. Gesha lagi-lagi tertohok. Ucapan Evan memang benar. Gesha lebih brengsek dari Evan. Tapi apakah Gesha benar-benar suka pada Jana hingga ia sampai mencium Jana?

"Gue emang brengsek Van. Tapi gue gak akan kalah dari lo!"

***

Setelah perdebatan dirumah Gesha, Evan bergegas menghubungi Jana. Ia mencoba menelpon Jana namun nomornya tidak aktif. Evan panik setengah mati, ia tidak mau Jana kenapa-kenapa.

Gesha pun berusaha untuk menghubungi Jana, namun hasil yang didapatkannya sama. Nihil. Jana tidak dapat dihubungi.

Shit! Batin Gesha.

Evan mencari Jana kerumahnya namun nihil. Ia juga mencari Jana ke tempat ia sering menulis puisi, ia mencari ke taman, mencari ke café favorit Jana, namun Jana tidak ada. Kepala Evan berdenyut-denyut saking pusingnya.

Ayo Evan, pikirin sesuatu tentang Jana!

Ah, Evan tahu tempat mana lagi yang harus ia pastikan!

***

Gesha khawatir setengah mati dengan Jana. Ini sudah larut malam dan Jana masih belum bisa ditemukan. Akhirnya Gesha menyerah dan tertidur di sofanya. Namun tidak bagi Evan, masih ada satu tempat lagi yang harus ia pastikan.

Ia sampai di Situ Patenggang pukul 02.00 dan keadaan sangat mencekam. Rumah pertanian tua itu masih berdiri tegak dan lampu dalamnya menyala. Evan tahu persis kemana ia harus pergi. Jana dulu pernah bercerita bahwa ia dan orangtuanya kerap kali pergi ke rumah pertanian tua di dekat Situ Patenggang untuk sekadar berlibur. Dan disinilah Evan sekarang.

Evan mendekati rumah tua itu dan mengetuk pintunya. Tak lama, ada seorang wanita paruh baya membukakan pintu. Wanita itu terkejut karena kedatangan tamu pada dini hari.

"Maaf Bu, saya lagi nyari temen saya. Namanya Jana. Dia ada disini Bu?" Tanya Evan. Wanita itu menatap hati-hati pada Evan.

"Neng Jana ada di dalam. Tapi kayaknya dia teh udah tidur. Coba aja atuh diliat sama akangnya yah. Masuk Kang..." wanita itu mempersilahkan Evan masuk dan menuntun Evan kearah kamar dimana Jana tidur. Evan membuka pintu kamar tersebut dan menemui sesosok gadis yang sedang tertidur lelap dengan damainya. Setelah mengucapkan terimakasih, Evan pun masuk ke kamar itu dan menutup pintunya. Evan menghampiri Jana yang sedang tertidur.

"Jana..." bisik Evan lembut. Gadis ini rapuh, Evan tahu persis hal itu.

"Jana, kita pulang yu..." ucap Evan lagi sambil membelai rambut Jana.

Mata Jana membuka perlahan dan ia sempat terkejut melihat Evan dari jarak yang begitu dekat.

"Lo ngapain disini?" Tanya Jana kaget.

"Gue mau jemput lo."

"Darimana lo tau tempat ini?"

"Lah kan lo waktu itu pernah cerita ke gue..."

"Kok gue lupa"

"Pikun dasar"

"Biarin uhhhh"

"Jan?"

"Hm"

"Pulang yu..." Evan merengek pada Jana dan hanya tertawa. Namun sedetik kemudian Jana terdiam kembali.

"Van, gue bingung harus ngomong gimana sama lo. Kejadian tadi bener-bener diluar dugaan gue,"

"...."

"Van...."

"Lo nikmatin hal itu gak Jana?"

"Gue gak tau. Gue...."

"Iya atau engga?"

"Gue gak tau Evan!"

Jana menangis saking sebalnya. Evan yang merasa bersalah langsung memeluk Jana.

"Ayo kita pulang."

***

Jana sekarang bahkan sudah tidak punya muka lagi untuk bertemu dengan Gesha. Namun saat Gesha mengajaknya untuk bertemu, Jana tidak bisa berkata tidak.

"Hei Jana, udah lama?"

"Hehe, lumayan" jawab Jana kaku.

"Udah pesen minuman?"

"Udah kok"

Kemudian hening.

"Jana, gue mau minta maaf soal yang kemaren. Aduh sumpah gue..."

"Udah jangan diomongin lagi. Saya males ngomongin itu," potong Jana. Gesha pun terdiam.

"Jana, sebenarnya hubungan lo sama Evan itu gimana?" tembak Gesha. Jana kali ini yang terdiam.

"Kenapa kamu mau tahu?"

"Saya berhak tahu Jana."

"Kenapa?"

"Apa tindakan saya yang kemarin tidak menjelaskan semuanya?"

"Maksud kamu apa Gesha?"

"Kamu masih tidak mengerti?"

Jana menghela napas dengan gusar.

"Gesha, lebih baik kita tidak usah bertemu apabila seperti ini akhirnya."

Hei heiii author mau ngasih info tentang perubahan genre. Tadinya kan ini cerita genrenya chicklit. Tapi setelah author pikir-pikir lagi, kalo chicklit itu terlalu berat. Jadi author ganti genrenya jadi romance yaaaaa. Oke jangan lupa vote sama comment:*

Analogi WaktuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang