Bintang Jatuh

4.1K 222 7
                                    

Hari ini hujan seperti enggan untuk turun, wajah Reza tersapu tetesan embun yang membungkus Jakarta, entah sudah berapa lama dia termenung di tempat ini. Matanya mengedarkan pandangan ke langit Jakarta yang hitam pekat dengan awan yang menggulung, hiruk pikuk orang yang berlalu lalang di belakangnya tak sedetik pun ia hiraukan, sudah menjadi kebiasaan Reza kalau kesepian seperti ini dia akan menyendiri.

***

Beberapa tandu membawa korban yang baru saja ditemukan, malam semakin larut tapi Suster Yuna dan Rianna masih sibuk dengan tugasnya, sesekali Rianna menguap karna tepat 40 jam ini dia tidak tidur semenit pun. Dalam hati dia seperti bertepuk tangan untuk rekornya ini, namun apa yang harus dibanggakan kalau hanya tidak tidur selama hampir dua hari. Memangnya Bripda Tengku akan memujinya, tidak sama sekali.

Otaknya masih kacau karna kejadian tadi pagi, bahkan sifat kekanak-kanakan Rianna masih menggelayut di hatinya. Dia pantas marah, tapi apakah harus dia marah sampai tidak mau berbicara dengan pemuda itu, apalagi kenyataan mempertemukan mereka dalam satu tim.

***

Langkah kecil Rianna beradu dengan genangan air, dengan sedikit hati-hati dia mencoba mendekati sosok Reza yang masih mematung memandang langit, berharap bintang akan menyapanya malam ini.

"Ehem.." Rianna berdeham dan Reza meliriknya sekilas

Namun mata Reza kembali dialihkan oleh langit, seakan sosok Rianna kalah menarik dari hamparan langit hitam Jakarta

"Maaf.." Rianna menggigit bibir bawahnya, dia memandang sosok dihadapannya ini dan menunggu reaksi yang semestinya ia dapatkan

Sedetik dua detik Reza sama sekali tidak meliriknya lagi, bahkan sosok di hadapannya ini hanya mengelus tangannya tanda dingin mulai datang

Rianna mendengus kesal, dia berbalik dan bergumam dan mengumpat pada sosok Reza. Baru kali ini permintaan maaf nya di tolak mentah-mentah oleh pemuda yang pertama kali ia temui, pemuda yang membuatnya kesal setengah mati dan pemuda yang sudah menipu matanya.

***

Jika malam berani datang, kenapa bintang enggan menyapa? Kenapa semua gelap, bukankah setiap manusia berhak mendapatkan terang yang benderang, apakah Tuhan telah mengutuk umat manusia dan memilih kegelapan untuk kita semua, tak adakah harapan mendapatkan kenyamanan dan ketentraman yang pernah kita rasakan?

***

Mata Reza menatap lurus kertas yang sedang ia pegang, dia mungkin bisa membuat sketsa jauh lebih baik dari Rianna, tapi dia sama sekali tidak ahli merealisasikan apa yang ia buat. Bukan Reza bodoh atau apa, hanya saja dia lebih percaya kalau karyanya bisa diwujudkan oleh orang yang jauh lebih pantas tenimbang oleh tangannya. Sedetik dua detik hanya keheningan yang ia dapat dari secercah harapan di benaknya yang hari ini harus ia dapatkan.

"...Permisi"

Suara renyah Rianna mengagetkan Reza, dia segera memandang wajah ayu gadis itu penuh harap, mungkinkah ini jawabannya hari ini? Apa harus gadis yang ia kejar menjadi tameng untuk dirinya, bahkan memandangnya saja sudah membuat hati Reza bak genderang mau perang, selalu tidak bisa mengontrol detaknya bahkan sesekali ia sesak dibuatnya.

"Silahkan masuk" Reza membuka suara dan menghampiri mejanya

"Bripda Tengku menyuruh saya untuk menanyakan tentang sketsa yang Anda buat" mata Rianna sendu, tak ada kemarahan namun sedikit misterius, bahkan suara khas amarahnya sudah tak berbekas.

Reza menatap wajah gadis itu penuh tanya, namun untuk bersua rasanya sangat susah, bahkan mengatur nafasnya saja sekarang semakin susah. Kalau boleh jujur, dia lebih baik melihat wajah Rianna marah daripada sendu bak mentari yang tertutup awan gelap dan tak punya celah untuk bersinar.

Setelah berkata itu Rianna beranjak keluar, sementara Reza belum sempat membuka mulutnya dan meminta Rianna untuk membantunya. Secepat angin Reza berlari mengejar Rianna, wajah ayu Rianna bingung dan panik matanya penuh dengan tanya.

"Maaf mengejutkanmu, tapi bisakah kamu membantuku?"

Mulut Rianna rapat, namun manik matanya seakan menerka apa yang Reza katakan.

***

Sudah hampir 4 jam Rianna berada di ruangan ini dengan Reza, hanya berdua dengan beberapa lembar sketsa yang akan mereka gunakan untuk pemindahan air banjir ke air laut. Dan seperti biasa hati Reza berdegub kencang tak karuan, semoga kali ini peluhnya tidak sampai bercucuran.

"Kurasa cara ini akan berhasil" seru Reza menatap wajah Rianna

"Hmm... Dan cara ini bisa kita gunakan untuk skala yang kedua nanti" Rianna tersenyum tipis

Lega rasanya bisa melihat senyuman Rianna kembali, rasanya ia merasa nyaman berada di samping wanita ini, sama seperti rasa nyamannya bersama Bunda, di dunia ini wanita yang paling Reza cintai adalah Bunda Hilda dan dia berfikir kalau itu akan menjadi selamanya, tapi ternyata tidak.

***

Sorry sorry baru bisa post lagi xoxo... Author lagi gak dapet inspirasi, dan ini bakal jadi part terpendek di Love Story kayaknya, ini hanya selingan untuk kisah selanjutnya, ini berkat konser Selena Gomez tadi malam yang bikin author melek tanpa tidur dan pantengin hape buat bikin cerita ini xoxo... *gakadayangnanya

Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang