Waiting by @vevenulis

14 6 2
                                    

Hari ini, hari pertama dibulan Agustus. Panas terasa menyengat dan membakar kulit. Sama sekali tidak ingin bersahabat dengan para penghuni bumi, sudah muak sepertinya.

Jam menunjukkan pukul tiga sore. Aku berjalan santai menelusuri jalanan kecil menuju taman kompleks. Sudah menjadi kebiasaanku untuk jogging setiap sore. Rutinitas yang menjadi hobiku sejak berada dibangku SMA.

SMA ...

Ya, SMA adalah masa yang paling menyebalkan dalam hidupku, sekaligus juga masa yang paling indah. Sudah sepuluh tahun berlalu ... Bagaimana kabarnya sekarang? Apakah dia sudah kembali ke Tanah Air? Ataukah dia malah membentuk keluarga diNegeri Kincir sana? Dan ... Apakah dia masih mengingatku?

[Flashback]

Sepuluh tahun yang lalu,

Seorang gadis yang baru saja menyelesaikan studinya dibangku putih biru, kini telah berlabuh menuju jenjang putih abu-abu. Dan gadis itu adalah, aku ...

Namaku Larana Tasya. Teman-teman memanggilku Lara. Sebenarnya aku sangat membenci namaku. Terlebih 'Larana' . Rasanya itu seperti gabungan dari dua buah kata; 'lara' dan 'merana' . Benar-benar sangat menyedihkan.

Tapi, aku selalu berharap kisah cintaku tidak akan se-menyedihkan namaku ...

Aku bergegas menuju lautan manusia yang masih memakai pakaian putih-biru dengan atribut yang tidak jelas fungsinya. Bahkan, atribut ini bisa dikatakan sampah. Bagaimana tidak? Kami pergi kesekolah disuruh menggunakan topi kerucut dari karton yang dilapisi koran, papan nama ukuran 40cm × 25cm, rambut yang dikucir delapan, dan tangan yang dipenuhi oleh pita warna-warni. Benar-benar seperti orang gila, rutukku dalam hati.

Terkadang aku bingung, kami kesekolah 'kan untuk menimba ilmu. Lantas, mengapa kami harus mengawali sekolah kami dengan MOS seperti ini? Mereka selalu mengatakan supaya kami dekat dan mengetahui seluk-beluk sekolah. Kenapa tidak dengan menggunakan pengarahan saja?

Bukankah merepotkan sekali kalau setiap tahun harus melakukan tradisi seperti ini? Atau ... Apakah ini hanya alibi para senior supaya bisa menunjukkan kuasa mereka?

"HEY KAMU!" Sebuah teriakan membuyarkan lamunanku. Mataku dengan cepat menoleh kearah sumber suara.

"Eh, i-iya kak?" Aku tergagap. Wajah senior ini benar-benar memerah. Entahlah, akupun bingung. Apakah wajahnya memerah karena marah... Ataukah memerah karena blush on? Karena senior dihadapanku ini benar-benar memakai make up tebal.

"LO ITU NANTANG GUE YA?!" Lah, siapa yang nantang? "DISURUH BARIS BUKANNYA BARIS, MALAH BENGONG!"

Aku terdiam. Mau bagaimanapun ini adalah salahku karena ngalor-ngidul dengan otakku yang tidak jelas ini diwaktu yang tidak pas. Akupun meminta maaf, "Maaf kak."

"LO HARUS DIHUKUM!" Teriak senior itu lagi. "KELILING LAPANGAN SERATUS KALI! CEPAT!" Perintahnya keras.

Wajahku memucat. Dengan lunglai, aku berjalan menuju lapangan.

"Gausah diikuti." Sebuah suara berat menghentikan langkahku. "Bri, dia ngga salah." Lanjutnya, membuatku menarik tubuhku untuk melihat pria pemilik suara berat tersebut.

Tampan.

Hanya kata itu yang terlintas dihatiku. Entah apa yang dibicarakan oleh pria baik ini dengan senior menor tadi, aku tidak tahu. Karena saat itu aku hanya fokus kepadanya. Kepada pria dengan suara berat yang membuat dadaku, berdesir.

×××

Tiga bulan lamanya aku sudah menjadi siswi di SMA Pancasila. Selama ini juga, aku terus mencari tahu pria tersebut.

Namanya Raka Tritama Prasetyo. Panggilannya Raka. Anak ketiga dari empat bersaudara. Umur tujuh belas tahun. Kelas XII - IPA 1, kelas para anak elite dengan kepintaran yang tidak diragukan. Hobinya bermain basket, jogging dan futsal. Sifatnya terkenal ramah dan baik hati, membuatku terkadang merasa iri kepada gadis beruntung yang bisa mendekatinya.

Sore ini, aku bersiap untuk jogging disekitar taman kompleks. Berdasarkan info yang kudapat, kak Raka sering berjogging ditaman kompleks.

Setelah mengikat tali sepatu kesayanganku, aku berlari kecil menuju jalanan aspal yang masih cukup asri. Kiri-kanan jalan ditumbuhi oleh pohon-pohon rindang. Sungguh, aku tak mungkin bisa menikmatinya lagi nanti.

Headsetku mengalunkan musik klasik dari permainan piano Beethoven. Lembut, dan benar-benar membuatku terbuai dalam lagunya. Sesekali aku menutup mata. Menghirup pelan udara tak berbau disekitarku.

Aku mengedarkan pandanganku kesegala arah, mencari sosok yang kukagumi selama tiga bulan terakhir ini. Siapa lagi kalau bukan, Raka.

Sore ini cukup ramai, tidak seperti biasanya. Mungkin karena akhir pekan, jadi mereka ingin menikmati Quality Time bersama orang-orang yang mereka sayangi.

Anak kecil bertaburan disetiap sudut taman, sibuk bermain dengan apa yang dapat mereka mainkan. Dibangku kiri ramai sekali ibu-ibu yang bergaya sosialita sedang bergosip ria. Tidak jauh dari situ, tampak segerombolan bapak-bapak yang sedang berdiri sambil mengobrol. Membicarakan bisnis, mungkin. Dan terakhir juga bertaburan berbagai pasangan muda-mudi yang sibuk bermesraan. Ah, aku benar-benar sendiri disini.

Sebuah tepukan dipundakku, membuatku terkejut. Aku membalikkan badanku.

"Lara ..." sapa pria dihapanku saat ini. Aku terkejut bukan main.

"K-kak Raka?" Tanyaku memastikan. Oh Tuhan, apakah ini mimpi?

Dia tersenyum, tetapi tidak menjawabku. Dia menarik tanganku menuju salah satu bangku taman yang kosong. Dan aku hanya bisa pasrah.

Hening.

Kami berada dalam mode hening, sibuk bergulat dengan pemikiran masing-masing. Hingga akhirnya dia mengeluarkan suara, "Lara ... Sebenarnya ada yang mau aku omongin sama kamu."

Aku terdiam sejenak. Tumben sekali dia menggunakan aksen aku-kamu. Biasa juga menggunakan lo-gue.

"Apa, kak?" Suaraku akhirnya keluar.

"Sebenarnya ..." Dia menghentikan perkataannya sambil menatapku dengan tatapan yang ga bisa kuartikan.

"... Aku suka sama kamu."

Dan jantungku benar-benar ingin terbang. Tetapi, bibirku tidak bisa berkata. Aku hanya ingin mendengarkan kalimat selanjutnya.

"Aku suka sama kamu, sejak pertama kali kita ketemu ketika MOS waktu itu. Rasanya, perutku seakan dipenuhi oleh kupu-kupu. Jantungku seperti ingin keluar dari rongganya ..."

"Kau pandai menggoda, kak." Ejekku.

"Aku tidak berbohong, Lara. Lihatlah mataku," ucapnya tegas.

"Aku tau itu," Aku bukannya tidak mempercayainya, hanya saja tubuhku ini serasa ingin meledak.

"Tapi ..." lagi-lagi dia menggantungkan kalimatnya.

"... Tunggulah aku kembali dari Belanda, maka kita akan bersama,"

[End Of Flashback]

Aku sungguh merindukannya. Sosok manis yang sampai sekarang masih kutunggu. Pria tampan penghuni hatiku, apakah dia masih mengingat janji itu?

Aku menghela nafasku kasar. Rasanya hari ini aku terlalu jatuh dalam nostalgia lama. Sebutir air terjatuh dari pelupuk mataku. Berapa lama lagi aku harus menunggunya? Usiaku sudah 25 tahun, dan aku masih belum memiliki pasangan hidup.

Tapi, ah sudahlah.

Aku bangkit dari bangku yang sedari tadi kududuki, meregangkan sedikit ototku yang kaku dan kemudian berjalan lagi.

Namun, baru saja aku berjalan tujuh langkah, sebuah tangan menyentuh pundakku. Aku berbalik untuk menatap pemilik tangan tersebut.

"Lara ..."

- The End -

The Memorable ParkTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang