Ghea memandang pantulan dirinya di cermin. Dress putih dengan sedikit aksen floral di bagian bawah selutut dipadukan dengan flatshoes putih pemberian Papa membuat penampilan dirinya terlihat manis.
"Berangkat, ah!" pekiknya, pada diri sendiri.
Namun langkah kakinya seketika terhenti saat merasakan ada sesuatu yang tertinggal. Dengan cepat, otaknya langsung memunculkan sebuah nama benda.
"Ah, iya! Kamera!"
Ghea meraih kamera DSLR-nya yang terletak di atas meja belajar. Ia mengalungkan tali kamera itu di lehernya, lalu berlarian menyusuri tangga.
"Ke taman lagi, Ghe?" tebak Mami, yang sedang duduk bersantai di sofa depan televisi sambil menggenggam majalah fashion terbaru.
Ghea mengangguk semangat. "Iya, Mi. Sebelum jam 6 sore Ghea udah di rumah kayak biasa, oke? Bye!"
***
Mata Ghea berkeliaran di sekitar taman. Taman hijau dengan banyaknya tumbuhan berbunga dilengkapi dengan bangku-bangku taman membuat tempat ini acap kali dijadikan basecamp Ghea jika ia merasa pusing dan perlu ketenangan.
Memang, taman ini tidak banyak dikunjungi orang. Sebab tempatnya yang tidak begitu strategis dari kawasan ramai. Namun bagi Ghea, taman ini sangat strategis baginya saat suasana hatinya sedang buruk.
Tetapi untuk kali ini dan tiga kali kunjungan sebelumnya, Ghea justru datang ke taman karena ia bahagia. Bahagia melihat seseorang yang telah membuat hatinya bergetar tak menentu.
Orang itu... Dia. Laki-laki berkacamata dengan hidung mancung dan bibir pink alami yang selalu duduk di bangku sisi kanan taman. Orang yang selalu membawa buku sketsa, pensil HB, penghapus, spidol warna hitam, dan sekotak kecil pensil warna.
"Aaaaa!" jerit Ghea, dengan suara pelan saat melihat orang itu tiba di taman dengan mengenakan kaus putih polos berlengan pendek model slim-fit yang sangat pas di tubuh sehingga lekuk tubuh atletisnya dapat terlihat. Serta celana jeans panjang dan sneakers Adidas hitam yang menambah kadar ketampanannya semakin meningkat menjadi 100,1 %. Jangan lupakan kacamata yang selalu bertengger di hidungnya dan tangan yang menggenggam perlengkapan menggambar.
Mata Ghea terus mengikuti kemana ia duduk. Dan benar saja, bangku di sisi kanan taman selalu menjadi tempat favorit pria itu. Kini, Ghea dapat melihat jelas kegiatan orang itu karena ia duduk tak jauh dari tempatnya berada.
Ckrik!
Ghea memotret orang itu saat sedang membetulkan letak kacamatanya.
Ckrik!
Ghea memotret orang itu lagi saat sedang mencoret-coret buku sketsanya dengan menggunakan pensil HB.
Ckrik!
Ghea memotret orang itu lagi dan lagi saat keningnya berkerut, pertanda ia sedang dilanda kebingungan.
Ckrik!
Ghea memotret orang itu lagi, lagi, dan lagi saat ia sedang menatap ke arah lensa kamera sambil tersenyum tipis.
Ghea tersenyum puas. Ia bahagia dapat mendapatkan empat foto candid laki-laki misterius yang selalu ia tunggu di taman itu.
Namun, ia baru menyadari kejanggalan di foto terakhir orang itu yang tadi ia ambil.
Orang itu... Menatap ke arah lensa kamera Ghea?!
"Be-berarti... aku tertangkap basah ngefotoin dia, dong!?" panik Ghea.
Tanpa aba-aba lagi, Ghea segera berlari ke luar area taman. Wajahnya semerah kepiting rebus. Ghea tidak dapat berpikir panjang lagi. Ia benar-benar malu. Sungguh.
Langkah kakinya terus membawa tubuhnya menuju rumah. Sesampainya di depan rumah, Ghea menggelengkan kepalanya berkali-kali. "Malu! Malu! Malu!" desahnya, pias.
"Aku enggak mau dateng ke taman itu lagi kalau masih ada dia!" sahut Ghea, pada dirinya sendiri.
Sambil menggigit bibir bawahnya, Ghea memasuki rumah dengan lesu. Baru saja ia merasa diterbangkan setinggi mungkin ke langit ketujuh karena telah berhasil mendapatkan empat foto candid orang itu dengan angle yang bagus. Eh... Beberapa saat kemudian, tubuhnya terhempas jatuh ke tanah karena kecerobohan dan kesialannya. Uh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ckrik!
Fiksi RemajaLaki-laki berkacamata dengan tubuh atletis yang selalu membawa perlengkapan menggambar itu membuat Ghea rela menunggu lama di taman untuk memotretnya diam-diam. Ghea tidak mengetahui nama, apalagi asal-usul dan hal lain dari 'orang itu'. Tetapi enta...