IV. Siapa Peduli?

96.1K 6.7K 162
                                    


'Ceklek'

Lingga melangkahkan kakinya memasuki rumah megah milik orang tuanya. Rasa nyeri di dada bagian kirinya belum hilang sama sekali. Lingga menyeret tubuhnya dengan paksa untuk naik ke lantai atas dimana kamarnya berada. Rumah ini megah tapi sangat sunyi. Lingga adalah anak tunggal. Siapa bilang anak tunggal akan bahagia karena kasih sayang orang tuanya tidak terbagi? Tidak! Bagi Lingga, itu salah besar. Dia justru merasa tidak mendapat kasih sayang sama sekali.

Lingga membaringkan tubuhnya ke atas ranjang dengan perlahan sambil menahan rasa sakit di dadanya. Entah mengapa rasa sakit ini lebih menyakitkan daripada saat Lingga tawuran biasanya. Untung saja, ada anak PMR yang membuka pintu UKS dari luar tadi. Jadi Lingga tidak perlu berada di UKS berdua dengan Anindita. Siswi itu terlalu cerewet bagi Lingga. Lingga pikir Anindita pendiam saat pertama kali bertemu namun ternyata Anindita lebih berisik daripada seekor bebek.

"Lingga!" suara berat bernada penuh amarah itu terdengar dengan jelas dari arah pintu. Lingga menatap ke arah sumber suara. Sial, dia lupa menutup pintu kamarnya. "Kamu tawuran lagi?!"

"Apa sih pedulinya, Papa?" tanya Lingga enteng yang jelas menyulut amarah ayahnya itu.

"Kamu itu anak Papa satu-satunya!" sahut pria itu, ayah Lingga, Tanto. "Jangan bikin Papa malu!"

"Jadi Papa malu punya anak kaya Lingga?" Lingga bangkit dan berdiri tepat di hadapan Tanto. "Ya udah, buang aja Lingga! Buat apa diurus?!"

"Lingga!" pekik Tanto sambil menampar pipi kanan Lingga. Lingga tersenyum miring dan menatap Tanto dengan tajam lalu berlalu meninggalkan Tanto. Bagi Lingga, Tanto hanya mengurus Lingga karena kasihan. Berada 3 menit saja di dalam ruangan yang sama dengan Tanto, Lingga sudah tidak tahan. Tidak ada yang pernah peduli pada Lingga, lalu apa gunanya ia hidup?

Lingga menuruni anak tangga dengan cepat seraya menggenggam kunci mobilnya. Selalu seperti itu setiap harinya. Lingga dan Tanto bertengkar lalu Lingga kabur dari rumah. Tidak ada hari yang tenang bagi Lingga. Tawuran, berkelahi, bertengkar. Itu adalah rutinitas harian Lingga. Selama 16 tahun hidupnya, Lingga tidak pernah mendapat cinta dari orang tuanya. Hatinya mengeras menjadi batu. Bahkan siswa kelas 12 yang biasanya tawuran dengan Lingga menjulukinya sebagai 'Predator' karena Lingga tidak mengenal rasa ampun saat berkelahi.

Lingga mengendarai mobilnya dengan kecepatan tinggi. Dia sudah biasa melakukan ini. Tanto selalu memberi apa yang Lingga inginkan agar anak itu tak berulah termasuk mobil beserta SIMnya. Lingga pergi ke sebuah rumah yang cukup jauh dari rumahnya. Rumah satu-satunya teman yang ia punya, Jingga. Perlahan namun pasti rasa sakit itu terasa lagi. Lingga berusaha menahan sakit yang terasa di dada bagian kirinya. Sial, semakin Lingga berusaha menahannya, rasanya justru semakin sakit.

Lingga tiba di rumah Jingga. Dia segera turun dari mobilnya dengan susah payah sambil membungkuk dan memegangi dadanya. Lingga mengetuk pintu rumah itu berulang kali namun tidak ada yang membukakan pintu. Sial, dimana Jingga sekarang? Lingga mengambil ponselnya. Mencoba menelfon Jingga berulang kali namun tidak bisa dihubungi. Sudah 15 menit Lingga di sana. Berpegangan pada knop pintu agar dia tetap bisa berdiri menahan sakit yang semakin menjadi-jadi itu.

'Ceklek!'

Setelah sekian lama, akhirnya ada yang membuka pintu. Seorang wanita setengah baya yang familiar dengan Lingga, ibu Jingga, Ranti. Ranti membawa Jingga perlahan menuju sofa. Menidurkan laki-laki itu di sana. Lingga hanya menatap Ranti tanpa berkata. Seandainya saja dia memiliki ibu seperti Ranti, hidup Lingga tidak akan seburuk ini. Jika ayahnya marah dan menghajar Lingga, pasti ibunya akan mencegah Tanto tapi sayang, itu tidak akan pernah terjadi dalam hidup Lingga.

PelukableTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang